Minggu, 21 Desember 2014

Ahmad Zarkasih, Lc


Hampir semua Imam madzhab yang masyhur itu tidak pernah menuliskan fatwa-fatwa beliau sendiri, akan tetapi muridnyalah yang kemudian dengan semangat menuntut ilmu mengabadikan fatwa serta ijtihad imam madzhabnya dari korespondensi langsung atau dari apa yang beliau ajarkan dalam majlisnya.
Dari madzhab tertua, seperti Imam Abu Hanifah (150 H) yang madzhabnya ditulis oleh 2 sahabat dan juga muridnya, yaitu Imam Abu Yusuf (182 H), dan juga Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (189 H). atau juga Imam Zaid bin Ali (122 H) yang dituliskan fatwa dan riwayatnya oleh Abu Kholid Amr bin Kholid Al-Wasithy (150 H).
Dan begitu juga seterusnya, sampai pada masanya Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (241 H). Dikecualikan madzhab Al-Syaf’iyyah, karena dalam sejarahnya Imam Syafi’i adalah satu-satunya Imam madzhab yang menuliskan masalah-masalah fiqih serta ushul madzhabnya sendiri.
Tapi ada satu yang membedakan dari kesamaan ini adalah bahwa Imam Ahmad, beliau adalah Imam madzhab yang paling banyak riwayatnya dalam satu masalah fiqih. Bahkan dalam satu masalah, ada lebih dari 8 sampai 10 riwayat yang dinisbatkan kepadanya.
Berbeda dengan Imam lainnya yang hanya mempunyai satu riwayat fatwa dalam satu masalah. kalau pun ada, pastilah tidak sampai lebih dari 2 riwayat. Dan ini bukan sesuatu yang aneh lagi bagi para pembelajar litelatur fiqih 4 madzhab.
Lalu kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin satu orang yang sama tapi mempunyai pendapat yang banyak sekali dalam satu masalah? apa Imam Ahmad selalu berganti-ganti fatwa? Atau mungkin ada penyebab lain?
Tentu ini sangat berhubungan erat dengan apa yang dilakukan oleh Imam Ahmad semasa hidupnya dalam menuntut ilmu juga ketika beliau menjadi Imam dan menjadi rujukan masalah-masalah hukum fiqih bagi kaumnya ketika itu.
Imam Ahmad Melarang Muridnya Menulis Fatwa Beliau
Ini adalah sebab utama dimana riwayat Imam Ahmad menjadi sangat banyak dan berbeda-beda dalam satu masalah fiqih, yaitu karena memang beliau sendiri melarang keras muridnya atau siapa yang mnedengarkan pelajarannya untuk menulis apa yang beliau ajarkan.
Imam Ahmad adalah imam madzhab yang terkenal wara’ sekali dalam segala hal, baik muamalahnya dengan orang lain atau juga dalam prosesnya mencari ilmu. Sepanjang hidupnya ia habiskan untuk menuntut ilmu, ilmu hadits khususnya. Beliau berjalan jauh untuk mengambil satu buah hadits langsung dari perawinya.
Dan beliau adalah satu-satunya Imam madzhab yang melarang penulisan kitab apapun selain Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Hanya 2 hal itu yang pantas dibukukan, selain keduanya tidak layak untuk mendapat hal yang sama dengan al-Quran dan Hadits utnuk dibukukan. Bahkan beliau juga tidak menulis fatwa gurunya sendiri yaitu Imam Al-Syafi’i.
Dalam Tabaqat Al-Hanabilah, Imam Abu Ya’la (526 H) menceritakan kisahnya Imam Ahmad dengan salah seorang muridnya yang bertanya kepada beliau: “Apakah aku boleh menulis kitab Al-Ra’yu (fatwa mujtahid)?”.
Imam Ahmad menjawab: “Jangan! Cukupkan saja dirimu (menulis) Atsar dan Hadits!”. Muridnya menbalas: “Tapi Imam Ibnu Al-Mubarok menulis itu semua!”. Imam Ahmad menjawab:
إِن ابْن الْمُبَارك لم ينزل من السَّمَاء إِنَّمَا أمرنَا أَن نَأْخُذ الْعلم فَوق
“Ibnu Al-Mubarak tidak turun dari langit. Urusan kita itu hanya mengambil ilmu yang datang dari atas (wahyu)”[1]    
Namun nyatanya, walaupun beliau telah melarang muridnya dan siapapun yang mendengarkannya untuk menulis, setelah beliau meninggal banyak bermunculan kitab-kitab yang isinya adalah fatwa-fatwa beliau (Imam Ahmad) dalam masalah fiqih.
Dalam kitabnya yang membahas khusus tentang Imam Ahmad, Sheikh Muhammad Abu Zahroh mengatakan bahwa masjid Jami’ Baghdad itu selalu dipenuhi ribuan orang ketika Imam Ahmad mengelar kajiannya yang dilakukan setiap sholat Ashar.[2]
Nah, karena banyaknya orang yang mendengarkannya itu, maka wajar banyak yang menuliskan fatwa beliau. Lalu kenapa berbeda?
Bisa jadi satu orang menulis, kemudian yang lain menulis dengan pemahaman yang berbeda dengan yang lain. Dan yang semakin membuat priwayat itu berbeda ialah tidak adanya upaya Verifikasi (Tahqiq) kepada Imam Ahmad langsung tentang apa yang sudah mereka tulis, mungkin saja Imam Ahmad punya maksud lain dari fatwanya.
Tapi siapa yang berani datang kepada Imam Ahmad untuk meminta verifikasi atas apa yang ia tulis? Toh beliau saja malarang untuk ditulis fatwanya. Akhirnya karena tidak ada upaya verifikasi langsung inilah yang membuat banyak riwayat Imam Ahmad dan dari banyaknya itu banyak juga yang saling bertentangan.
Sejatinya satu factor ini sudah cukup untuk mengetahui kenapa banyaknya riwayat fiqih yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang saling berselisih dan saling bertentangan. Yaitu factor larangan beliau kepada murid-muridnya.
Madzhab Imam Ahmad = Madzhab Ahli Hadits
Imam Ahmad adalah seorang perawi hadits, sepanjang hayatnya, beliau habiskan untuk mencari sanad hadits dan mendengarkan langsung matan hadits dari mulut perawi tanpa perantara. jika ia tahu bahwa hadits yang didapatnya itu diriwayatkan oleh seseorang yang masih hidup, beliau tpasti mendatangi orang tersebut walau jauh tempatnya.
Kecintaannya terhadap hadits sudah tidak bisa diukur dengan harta manapun. Beliau menilai tidak ada yang lebih berharga dibanding mencari ilmu yang Rasul saw wariskan. Karena cintanya yang cukup besar ini, madzhab beliau sangat erat sekali hadits.
Jika beliau ditanya suatu masalah, beliau tidak langsung menjawab, akan tetapi mencari hadits yang berkenaa dengan pertanyaan itu. Jika ada, maka beliau cukupnya dengan hadits, jika tidak beliau enggan untuk langsung berfatwa akan tetapi menunggu beberapa hari sampai menemukan hadits. Atau tidak jarang beliau ber-tawaqquf (absen).
Dan tidak jarang juga, fatwa beliau hari ini itu berbeda dengan yang kemarin karena hari ini beliau mendapat hadits dalam masalah yang sama namun berbeda isi kandungan hukumnya denga hadits yang kemarin.
Dalam kitab Al-Musawwadah karangan keluarga Taimiyah (Majdudin, Abdul Halim, Taqiyudin) diceritakan kisah Imam Ahmad yang membuat muridnya bingung karena beliau (Imam Ahmad) ditanya sesuatu namun jawabannya berbeda dengan apa yang ia jawab sebelumnya padahal masalahnya sama. Sang Imam Menjawab:
ليس لنا مثل أبى حنيفة أبو حنيفة كان يقول بالرأى وأنا أنظر فى الحديث فإذا رأيت ما أحسن أو أقوى أخذت به وتركت القول الاول
“Aku tidak seperti Abu Hanifah, Abu Hanifah menjawab dengan ra’yu logika) sedangkan aku melihat hadits. Jika aku mendapati ada yang lebih baik dan lebih kuat, maka aku ambil itu dan aku tinggalkan pendapat yang pertama”. [3]  
Nah, ini juga yang bisa memunculkan adanya perbedaan di antara riwayat Imam Ahmad sendiri dalam masalah-masalah fiqihnya. Bisa jadi fatwa beliau hari ini dalam satu maslaah tertentu yang berbeda denan sebelumnya itu tidak didengar oleh muridnya yang sebelumnya yang sudah menulis fatwa beliau di hari kemarin.
Akhirnya, ada beberapa riwayat Imam Ahmad yang saling bertentangan. Jadi bukan karena Imam Ahmad itu sendiri, melainkan muridnya yang memang hanya mendengar sekali dan tidak tahu bahwa Imam Ahmad sempat merubah fatwanya.
Kitab Rujukan Madzhab Imam Ahmad
Melihat banyaknya riwayat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad dalam satu masalah fiqih akhirnya membuat rancu juga bagi para pembelajar fiqih di zaman setelahnya dalam menentukan, mana pendapat Imam Ahmad dan mana yang bukan.
Karena beberapa ulama dari kalangan Al-Hanabilah membuat riwayat-riwayat tersebut menjadi ramping dan membuang beberapa riwayat yang memang tidak sesuai dengan kaidah serta ushul madzhab Al-Hanabilah sendiri. Guna mempermudah mengetahu mana pendapat resmi madzhab dan mana yang bukan.
Di antara ulama yang mem-verifikasi pendapat madzhab Imam Ahmad beserta kitabnya tersebut ialah:
  1. Imam Ibnu Qudamah (620 H), kitabnya Al-Mughni
  2. Imam Al-Mardawi (885 H), kitabnya Al-Inshaf fi Ma’rifati al-Rajih Minl-Khilaf
  3. Imam Al-Buhuti (1051 H), kitabnya Kasysyaful-Qina’
Wallahu a’lam


[1] Thabaqat Al-Hanabilah 1/329
[2] Ibnu Hanbal 478

0 komentar:

Posting Komentar