Minggu, 21 Desember 2014

Terbebas dari Riya’

riya' 
 
Tidak diragukan bahwa riya’ merupakan salah satupenyakit hati yang berbahaya. Banyak nash yang menyebutkan tercelanya sifat ini, dan peringatan untuk menjauhinya beserta penjelasan bahwasanya sifat ini dapat menghapus kebaikan yang telah dilakukan. Oleh karena itu, kita sebagai hamba yang dikarunia akal, dianjurkan mencari tahu obat dari penyakit yang berbahaya ini, juga berupaya sekuat tenaga agar tidak terinfeksi olehnya. Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah berkata, “Aku telah mengetahui dari apa yang telah lalu, bahwasanya sifat riya’ dapat menghapus amalan-amalan dan sifat ini merupakan salah satu sebab kebencian Allah terhadap hamba-Nya, ia juga merupakan salah satu dosa besar yang membinasakan. Maka kita harus bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya, walaupun harus berupaya keras dan bersusah payah. Karena tidak ada kesembuhan kecuali dengan meminum obat yang pahit dan tidak enak. Ini merupakan bentuk kesungguhan seorang hamba, ia harus memaksa dirinya untuk melakukan hal tersebut.”

Ada beberapa poin penting yang dapat membantu dalam menghilangkan sifat riya’:
 1. Mengetahui akibat dari  riya’, seperti aib dan kehinaan baik di dunia maupun di akhirat. Dan bahwasanya sifat ini akan menampakkan aib pelakunya di hadapan semua manusia pada hari kiamat. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,

Barangsiapa yang (beramal) ingin didengarkan (oleh orang), maka Allah akan memperdengarkannya. Dan barangsiapa yang (beramal) agar dilihat (orang), maka Allah akan perlihatkan.” (HR. Bukhari, no. 6134 dan Muslim, no. 2986).

2. Mengetahui bahwasanya mengharapkan ridho seluruh manusia adalah perkara yang dilarang. Bahkan sebenarnya, yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah, mengarahkan cita-citanya kepada satu tujuan, yaitu memperoleh keridhoan Allah Ta’alaa. Al-Ghazali berkata, “Ridha manusia adalah tujuan yang tidak diketahui ujung pangkalnya, maka setiap sesuatu yang mendatangkan ridho bagi sekelompok manusia, ia juga mendatangkan kebencian bagi sekelompok manusia yang lain. Keridhoan sebagian dari mereka, berada atau mendatangkan kebencian bagi sebagian yang lain. Dan barang siapa yang mengharap ridho manusia dengan mendatangkan murka Allah, Allah akan murka kepadanya dan akan membuat seluruh manusia membencinya.”

3. Mengetahui bahwasanya seluruh makhluk adalah hamba yang harus tunduk kepada Allah. Karenanya pujian mereka tidak mendatangkan manfaat kepada kita dan celaan mereka juga tidak membahayakan kita.  Adapun manusia yang satu sama dengan manusia yang lain, sama-sama membutuhkan Allah untuk memperoleh kemashlahatan bagi diri mereka, dan menghilangkan bahaya dari diri mereka.
 Disebutkan dalam kita Ihya ‘Ulumuddin, “Apakah pujian manusia mendatangkan kebaikan kepadamu? Jika kamu di sisi Allah adalah orang yang hina, dan tergolong penghuni neraka. Dan apakah celaan manusia mendatangkan keburukan kepadamu? jika kamu di sisi Allah adalah orang yang mulia dan termasuk golongan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.”

4. Menghadirkan dalam hati kita tentang apa-apa yang telah Allah persiapan di akhirat bagi hamba yang taat sebagai ganjaran atas ketaatan mereka. Dan mengetahui bahwa tidak ada cara yang tepat untuk meraih janji Allah tersebut kecuali dengan menjauhi salah satu dari sifat yang berbahaya, sifat riya’. Abu Hamid berkata, “ Barangsiapa yang menghadirkan dalam hatinya, kenikmatan akhirat yang kekal, dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, ia tidak akan menghiraukan hal-hal yang dapat membuatnya bersandar kepada sesama makhluk. Keinginannya hanya ditujukan untuk mencari keridhoan Allah, dan jiwanya bersih dari sifat riya’ yang dapat mengeraskan hati.”

5. Berkemauan kuat untuk menyembunyikan amalan yang dapat mendatangkan pujian. Maka seorang mukmin harusnya melakukan shalat sunnahnya di rumah sebisa mungkin. Begitu juga tidak menampakkan amalan sunnah lainnya selain shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ Shalat yang paling utama bagi laki-laki adalah di rumahnya kecuali shalat wajib.” Dan di antara tujuh golongan yang mendapatkan naungan pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah adalah seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi sampai tangan kirinya tidak mengetahui  apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya. Juga seseorang yang berdzikir mengingat Allah dalam keadaan yang sunyi, hingga meneteslah airmatanya. Dan masih banyak hadits-hadits yang semisal dengan hadits ini.

6. Selalu rendah hati dan memperbanyak doa memohon perlindungan kepada Allah ta’alaa agar dijauhkan dari riya. Sebagaimana doa mulia yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita,
اللّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُُهُ وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُهُ
Ya Allah sesungguhnya kami berlindung kepada Mu dari menyekutukan Mu dengan sesuatu (berbuat syirik) dan kami mengetahuinya, kami meminta ampun kepada Mu dari (perbuatan syirik) yang aku tidak mengetahuinya.” (Riwayat Ahmad dalam Musnadnya) atau sebagaimana doa Umar bin al-Khattab radliyallahu ‘anhu, “ Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal yang shalih, Ikhlas karena mengharap Wajah-Mu, dan janganlah jadikan di dalam amalku bagian untuk siapapun.” (Disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam kitab al-Jawaabul-Kafii).

7. Banyak membaca kisah orang-orang yang ikhlas, para nabi, shahabat, para tabi’in dan ulama-ulama salaf lainnya. Karena hal ini dapat menumbuhkan keinginan untuk menyerupai mereka, dan mengikuti jejak mereka.

Itulah tujuh point yang dapat menjauhkan dari riya. Kita berlindung kepada Allah dari sifat tersebut, memohon kepada-Nya agar selalu diberikan kekuatan dan keikhlasan dalam mengikuti sunnah nabi-Nya. Aamiiiin. Waallahu a’lam bish-shawaab.

Sumber: http://www.alislamu.com/8459/terbebas-dari-riya-2/ 
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar