Jumat, 20 Maret 2015

Seseorang yang menginginkan akhirat dari zakat atau sedekahnya memiliki beberapa tugas yang harus dipenuhi;
  1. Memahami tujuan zakat dan sedekah,
Memahami tujuan keduanya, bahwa keduanya adalah ungkapan dari kesungguhan dan kejujuran rasa cinta seorang kepada Allah. Sehingga nantinya dapat membersihkan dirinya dari sifat kikir yang dapat merusak jiwa seorang hamba serta bentuk rasa syukur atas nikmat harta yang dianugerahkan Allah kepadanya.
  1. Merahasiakan zakat dan sedekah, agar jauh dari riya’ dan sum’ah
Memperlihatkan zakat atau sedekah dapat merendahkan dan melukai mereka yang diberi. Bila dikhawatirkan timbul tuduhan bahwa ia tidak mengeluarkan zakat dan sedekah maka ia boleh mengeluarkan sebagiannya kepada orang-orang fakir di lingkungannya secara terang-terangan dan sebagian lagi diberikan kepada mereka yang membutuhkan secara rahasia.
  1. Tidak merusak zakat dan sedekah dengan menyebut-nyebutnya
Pasalnya, jika seseorang melihat dirinya berbuat baik kepada orang fakir mungkin itu sesuatu yang biasa. Sebenarnya apabila ia melihat secara detail mala ia akan tahu bahwa orang fakir itu juga telah berbuat baik kepadanya karena menerima hak Allah yang merupakan penyucian bagi dirinya.
Bila yang dikeluarkan adalah zakat untuk mensyukuri nikmat harta, maka tidak ada hubungan muamalah antara ia dan orang fakir. Untuk itu, ia tidak boleh menghina mereka yang diberi lantaran kefakirannya, sebab, keutamaan tidak diukur dengan harta dan kehinaan tidak diukur dengan kemiskinan.
  1. Menganggap remeh zakat atau harta yang sudah diberikan
Seseorang yang menganggap besar zakat yang dikeluarkan berarti ia ujub terhadap dirinya sendiri. Ada yang mengatakan, “Perkara ma’ruf hanya akan sempurna dengan tiga hal, menganggap keci;, segera melakukannya, dan merahasiakannya.
  1. Memilih hartanya yang paling halal, paling baik, dan paling ia cintai
Mengenai yang halal, karena Allah itu baik dan hanya menerima yang baik, sebagaimana firman Allah ta’alaa,
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkannya.” (al-Baqarah: 267).
Dalam masalah ini, sepantasnya ia memerhatikan dua hal, yakni;

Pertama, mengagungkan hak Allah
Allah lebih berhak terhadap orang yang dipilih-Nya. Seandainya seseorang menyuguhkan makanan yang jelek kepada tamu, tentu si tamu itu merasa kurang senang dengan suguhan yang diberikan kepadanya.

Kedua, hak dirinya
Karena yang ia berikan kelak pada hari kiamat akan ia dapatkan lagi, maka sudah sepantasnya ia memilih yang terbaik bai dirinya sendiri.
Adapun tentang harta yang paling ia cintai, karena Allah telah berfirman,
Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang semprna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali ‘Imran: 92).

Para ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama bagi orang fakir,menerima zakat atau sedekah. Sebaian ulama mengatakan bahwa yang lebih utama bagi orang fakir adalah menerima zakat. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah menerima sedekah.

Mengenai sebaik-baik sedekah, Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Sedekah apa yang lebih utama?” Beliau menjawab,
Hendaklah engkau bersedekah ketika engkau dalam keadaan sehat, kikir, takut kefakiran, dan mengharap kekayaan. Janganlah menunda-nunda sehingga ketika nyawa sudah sampai di tenggorokan, engkau berkata, ‘Fulan mendapat sekian dan fulan mendapat sekian.’, padahal harta itu memang milik fulan.” (Riwayat al-Bukhari, 2/515).

Sumber: Diadaptasi dari Muhammad Shalih al-Ghurasi, Intisari Minhajul-Qashidin atau Tahdzib Mukhtashar Minhajul-Qashidin, Pustaka Dar Al-Kitab wa Al-Sunna, Lahore, Pakistan, 2011, hlm: 41-44.

0 komentar:

Posting Komentar