Selasa, 28 April 2015

Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama, dan kepercayaan Bangsa Arab, agar lebih memudahkan bagi kita untuk memahami kondisi eksternal saat kemunculan Islam.

Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua bagian:
1.   Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakekatnya mereka tidak bisa merdeka dan berdiri sendiri.
2.    Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas diantara mereka mimilki kebebasan tersendiri. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.

Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja Yaman, Gassan, dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lain di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.

Raja-raja di Yaman
Suku terdahulu yang terkenal di Yaman dari kalangan Arab Aribah adalah kaum Saba’. Mereka bisa diketahui melalui fosil Aur, yang hidup dua puluh abad Sebelum Masehi (SM), puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai sebelas tahun SM.


Perkembangan mereka bisa dibagi menurut tahapan-tahapan berikut ini:
1.    Abad-abad sebelum 650 SM.
Raja-raja mereka saat itu bergelar “Makrib Saba’”, dengan ibu kotanya Sharawah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui dengan menmpuh perjalanan sehari ke arah barat dari negeri Ma’rib, yang dikenal dengan istilah Kharibah. Pada zaman merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma’rib, yang sangat terkenal dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba’ ini meliputi daerah-daerah jajahan negeri Arab dan di luar Arab.
2.    Sejak tahun 650 SM hingga tahun 110 SM.
Pada masa itu mereka menanggalkan gelar “Makrib”, dan hanya dikenal dengan raja-raja Saba’. Mereka menjadikan Ma’rib sebagai ibu kota, sebagai ganti dari Shaeawah. Puing-puing kota ini dapat kita temui sejauh 60 mil dari Shan’a’ ke arah timur.
3.    Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M.
Pada masa itu kabilah-kabilah Himyar dapat mengalahkan kerajaan Saba’, dan menjadikan Raidan sebagai ibu kotanya, sebagai ganti Ma’rib. Kemudian Raidan diganti menjadi Dhaffar. Puing-puing peniggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit yang di sekitarnya dikelilingi pagar di dekat Yarim. Pada masa itulah mereka mulai jatuh dan runtuh. Perdagangan mereka bangkrut, sebagai akibat dari perluasan kekuasaan kabilah Nabat ke utara Hijaz. Ini sebab pertama. Sebab lainnya, karena bangsa Romawi menguasai jalan-jalan perdagangan lewat laut, setelah mereka dapat menguasai Mesir, Suria, dan bagian Hijaz utara. Sebab lainya lagi, adaya persaingan antara kabilah-kabilah di sana. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga Qathan dan mendorong mereka untuk berpindah ke negeri Syasa’ah.
4.    Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman.
Pada masa-masa itu sering diwarnai kekacauan, keributan, revolusi, peperangan antar suku, yang justru membuat mereka menjadi mangsa bagi orang luar, hingga kemerdekaan mereka pun terenggut. Pada masa itu, bangsa Romawi masuk ke Adn. Atas bantuan bangsa Romawi pula, orang-orang Habasyah bisa merebut Yaman pada awal tahun 340 M, yang justru disibukan persaingan antara kabilah Hamdan dan Himyar. Penjajahan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian Yaman bisa mendapatkan kemerdekaannya lagi. Tapi kemudian bendungan Ma’rib jebol sehingga menimbulkan banjir besar seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, dengan istilah Sailul-Aram, pada tahun 450 atau 451 M. Setelah itu disusul satu kejadian besar yang mengakibatkan ambruknya peradaban mereka dan mereka pun terpecah belah.
Pada tahun 523 M, Dzu Nuwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang orang-orang Mashi (para pengikut agama Isa Al-Masih) dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agama Masehi. Karena mereka menolak, maka Dzu Nuwas membuat parit-parit besar yang didalamnya dinyalakan api, lalu mereka dilemparkan kedalam api hidup-hidup, sebaimana diisyaratkan Al-Qur’an dalam surat Al-Buruj. Kejadian ini membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan, yang dimotori imperium Romawi untuk menguasai negeri Arab. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah dan menyiapkan armada lautnya. Ada tujuh puluh ribu pasukan dan penduduk Habasyah yang turun dan mereka menguasai Yaman untuk kedua kalinya, yang dikomandai Aryath pada tahun 525 M. Aryath bercokol disana hingga dia dibunuh Abrahah, anak buahnya sendiri, dan dia menggantikan kedudukan Aryath di Yaman setelah meminta restu rajanya di Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka’bah, yang dikenal dengan pasukan penunggah gajah.
Setelah “Peristiwa Gajah” ini, penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persi. Dengan kerja sama ini mereka bisa mengusir orang-orang Habasyah dari Yaman hingga mereka memperoleh kemerdekaannya pada tahun 575 M, yang dipimpin Ma’di Yakrib bin Saif Dzi Yazan Al-Himyary. Kemudian mereka mengangkatnya menjadi raja disana. Ma’di Yakrib masih mempertahankan sejumlah orang dari penduduk Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertai prosesinya, yang justru menjadi bumerang baginya. Suatu hari mereka membunuhnya. Dengan kematiannya pupuslah sudah dinasti raja dari keluarga Dzi Yazan. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari bangsa Persi di Shan’a’, dan menjadikan Yaman sebegai salah satu wilayah kekuasaan Persi. Beberapa pemimpin dari bangsa Persi silih berganti menguasai Yaman, dan era kepemimpinan mereka yang terakhir  atas Yaman adalah Badzan, yang kemudian memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan ke-Islamannya ini berakhir sudah kekuasaan Bangsa Persi atas negeri Yaman.
Bersambung . . . . . .

Diambi dari

Sirah Nabawiyah. Syaikh Syafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury. 1997. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
http://3.bp.blogspot.com/-0WcddqGuQIc/UBFftzvTieI/AAAAAAAAH_U/zyLZNEFGfY4/s1600/486Wmyemen.gif (gambar peta)

0 komentar:

Posting Komentar