Sesudah khalifah Umar bin Abdul Aziz membersihkan tangannya usai menghadiri pemakaman putra pamannya yakni khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, beliau mengadakan pergantian para gubernur dan pejabat secara besar-besaran. Di antara pejabat baru yang dilantik adalah As-Samah bin Malik Al-Khaulani yang bertanggung jawab atas seluruh Andalusia (sekarang Spanyol) dan beberapa kota yang telah ditaklukkan di Prancis.
Gubernur ini segera menepati tempat dinasnya di Spanyol. Kemudian mengamati situasi dan mencari sahabat-sahabat baik yang bisa membantunya. Yang pertama kali beliau tanyakan adalah, “Masih adakah generasi tabi’in senior di sini?” orang-orang menjawab, “Masih, di sini masih ada seorang tabi’in utama bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi.” Lalu mereka memuji ilmu dan keahlian tabi’in tersebut tentang hadits-hadits nabi, perannya dalam jihad, kerinduannya akan syahadah fi sabilillah dan zuhudnya terhadap kesenangan duniawi. Beliau juga berguru terhadap sahabat utama, Abdullah bin Umar bin Khathab yang ilmu dan perilakunya sangat mirip dengan ayahnya.
Gubernur As-Samah bin Malik segera mengundang Abdurrahman Al-Ghafiqi. Kedatangan tokoh tabi’in tersebut disambut dengan penuh hormat, kemudian keduanya duduk berdampingan selama beberapa jam, berdialog tentang masalah-masalah umat dan negara. Tampaklah dari pembicaraan tersebut betapa ilmu dan kemuliaan Abdurrahman Al-Ghafiqi jauh lebih bagus dari kabar yang didengarnya dari orang-orang.
Pembicaraan terakhir dengan tawaran As-Samah bin Malik kepada Abdurrahman Al-Ghafiqi agar sudi membantunya dalam jajaran pemerintahan. Hanya saja tabi’in tersebut menolak dan berkata, “Wahai gubernur, saya adalah rakyat biasa yang datang kemari sebagai prajurit yang menjaga perbatasan dan ancaman dari musuh-musuh Islam. Saya telah bernadzar pada diri saya sendiri untuk mencari ridha Allah dari memanggul senjata untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Tapi insya Allah akan selalu di belakang Anda selama Anda tetapi menegakkan kebenaran. Saya akan senantiasa patuh kepada Anda selagi Anda taat kepada Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, rasanya tidak perlu saya menduduki sebagai pejabat.”
Beberapa lama kemudian, As-Samah bin Malik Al-Khaulani merencanakan penyerbuan ke Prancis untuk menggabungkannya dengan wilayah kedaulatan Islam yang besar. Di samping wilayah ini efektif menjadi jalan masuk untuk menembus negara-negara Balkan yang luas, kemudian terus Konstantinopel untuk mewujudkan apa yang telah dikabarkan Rasulullah saw.
Target pertama adalah merebut kota Narbonne, kota terbesar yang terdekat dengan Spanyol. Dari lereng pegunungan Pyrenees kaum muslimin menuju kota Narbonne yang berdiri kokoh laksana gunung kokoh tak tergoyongkan. Kota ini merupakan kunci pembuka daratan Prancis yang luas dan orang-orang menjadikannya sebagai kota impian.
Mulailah pasukan As-Samah Malik Al-Khaulani mengepung Narbonne. Seperti biasa penduduk terlebih dahulu diberi opsi, memeluk Islam atau membayar jizyah. Namun mereka tidak menerima kedua-duanya. Tak dapat dielakkan, peperangan meletus. Pasukan Islam menggempur bertubi-tubi dengan manjanik. Kota tua yang kokoh itu akhirnya menyerah selama empat pekan bertahan dalam pertempuran dahsyat yang belum pernah disaksikan oleh Eropa.
Target berikutnya adalah Toulouse, ibu kota Oktania. Tanpa membuang-buang waktu, pasukan Islam segera memasang semaca ranjau-ranjau di berbagai tempat, kemudian memulai serangan dengan senjata-senjata yang tidak dikenal di Eropa. Nyaris saja kota ini menyerah, hanya saja terjadi peristiwa yang tidak pernah terduga sebelumnya. Mari kita ikuti bagaimana seorang orientalis Prancis bernama Rhino menggambarkan perang besar tersebut:
Kejayaan di pihak pasukan Islam sudah diambang pintu. Ketika itu, raja Octania bertolak ke Eropa untuk mencari bala bantuan. Dia menyebar utusan-utsan ke seluruh negeri. Dia memprovokasi raja-raja Eropa dengan cara memperingatkan bahaya ekspansi Islam yang akan merambat ke wilayah mereka juga. Sehingga kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai tawanan. Hasilnya, tak satu negeri pun melainkan mengirimkan pasukan khususnya lengkap dengan persenjataan yang menjadi andalan mereka.
Jumlah pasukan begitu besar, gemuruh suara para tentara dan lengkapnya senjata perang belum pernah dilihat dunia sebelum itu. Hingga debu-debu terbang menutupi kota Rhone dari sinar Matahari, lantaran banyaknya kaki yang menginjaknya.
Tatkala dua kubu telah berhadap-hadapan, terbayang oleh orang seakan-akan gunung tengah berhadapan dengan gunung. Perang sengit tak terelakkan lagi. As-Samah bin Malik selalu di garis depan. Dia dijuluki Dzaama, bergerak dengan tangkas ke sayap kanan dan sayap kiri tanpa mengenal lelah. Pada saat itulah anak panah meluncur mengenai dirinya. Maka robohlah panglima yang perkasa itu dan syahid.
Begitu mengetahui panglimanya gugur, goncanglah pasukan Islam. Jatuhlah mental juang mereka, lalu barisan mulai kocar-kacir. Mereka bergerak mundur dan hampir dapat dipastikan bahwa pasukan Eropa berhasil menghancurkan mereka kalau saja pada saat yang kritis itu tidak tampil sosok yang cerdas dan tangguh yang selama ini disegani Eropa, yaitu Abdurrahman Al-Ghafiqi.
Di bawah komando panglima baru ini, pasukan Islam bergerak mundur tanpa mengalami banyak kerugian. Mereka bergerak ke Spanyol dengan tekad kelak akan menebus kekalahannya.
Demikianlah, perang besar Toulouse telah melahirkan panglima baru yang tangkas dan berhasil menyelamatkan pasukan Islam dari timbulnya banyaknya korban. Jika pasukan itu ibarat kafilah yang hampir mati kehausan di tengah sahara, maka Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah orang yang menyuguhkan minum kepada mereka. Beliau menjadi tumpuan para prajurit muslimin untuk memulihkan kekuatan dan membimbing mereka menjauhi banyaknya korban yang berjatuhan.
Tak berlebihan kiranya jika pertempuran Taoulose menorehkan luka pertama yang teramat pedih pada diri pasukan Islam sejak menginjakkan kakinya di benua Eropa. Kehadiran Abdurrahman Al-Ghafiqi menjadi penawar luka tersebut dan dengan tangannya yang penuh kasih di merawat mereka sepenuh perhatian.
Kabar kekalahan pasukan Islam tersebut akhirnya sampai ke telinga khalifah di Damaskus dan menumbuhkan tekad yang membara untuk membalas gugurnya gubernur As-Samah bin Malik Al-Khaulani. Beliau memerintahkan agar seluruh prajurit melakukan bai’at kepada Abdurrahman Al-Ghafiqi. Kini beliau diangkat sebagai pemimpin seluruh Spanyol dan daerah-daerah Prancis yang sudah berhasil dikuasai. Dengan jabatan tersebut beliau mendapatkan otonomi untuk mengatur strategi yang dikehendakinya.
Keputusan itu bukanlah tindakan konyol, karena Abdurrahman Al-Ghafiqi memang seorang yang tangkas, tegas, jujur, bersih, bijaksana lagi pemberani.
Pemimpin baru Abdurrahman Al-Ghafiqi tidak membuang-buang waktu. Beliau segera membenahi pasukan Islam, menempa tekad para prajurit, mengembalikan kepercayaan diri, kehormatan dan kekuatan mereka. Semua ditujukan untuk melanjutkan obsesi tokoh-tokoh muslimin Spanyol sejak zaman Musa bin Nushair hingga As-Samah bin Malik, yaitu menguasai Prancis, Italia, Jerman hingga Konstantinopel, serta menjadikan lautan putih tengah sebagai lautan Islam dan mengganti lautan Romawi menjadi laut Syam.
Hal yang diyakini Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah bahwa untuk menyongsong perang besar itu memerlukan pembenahan dan pembersihan jiwa prajuritnya. Beliau yakin bahwa umat Islam tak akan berhasil mewujudkan cita-citanya untuk meraih kemenangan jika rapuh kondisi ruhnya.
Bertolak dari sini, Abdurrahman Al-Ghafiqi berkeliling ke seluruh pelosok Andalusia dan mengumumkan bahwa pemerintah telah membuka semacam kotak pengaduan bagi rakyat. Barangsiapa merasa teraniaya, hendaknya melapor langsung kepada gubernur, tak peduli gugatan itu ditujukan kepada pejabat atas, pejabat daerah, bahkan para hakim sekalipun. Maklumat ini ditujukan kepada seluruh rakyat tanpa membeda-bedakan yang muslim maupan non muslim.
Selanjutnya, Abdurrahman Al-Ghafiqi memeriksa dan menanggapi seluruh pengaduan tersebut. Ditindaknya orang-0rang yang berlaku aniaya dan dikembalikan orang-orang yang lemah. Beliau meneliti gereja-gereja yang dirampas dan mengembalikannya kepada yang berhak, menghancurkan bangunan-bangunan baru yang didirikan dari hasil suap. Kemudian memeriksa para pejabatnya satu demi satu dan memecat para pejabat yagn terbukti berkhianat atau menyeleweng. Lalu menggantinya dengan orang-orang yang dapat dipercaya kemampuan dan keahliannya. Setiap kali memasuki suatu daerah, beliau menyeru kaumnya untuk melakukan shalat berjama’ah, kemudian berkhutbah untuk memompa semangant jihad dan membangkitkan kerinduan mereka akan syahadah dan merdhatillah.
Abdurrahman Al-Ghafiqi tidak hanya pintar berbicara. Sejak memegang kendali kekuasana beliau juga sibut mempersiakan berbagai sarana dan prasarana penting. Senjata-senjata diproduksi, latihan-latihan diselenggarakan, benteng-benteng yang rusak dibenahi dan jembatan-jembatan dibangun. Satu diantara jembatan bersejarah yang bisa disaksikan hingga kini adalah yang dibangun di Cordova, ibu kota Spanyol. Jembatan itu melintasi sungan besar yang bisa dimanfaatkan untuk lalu lintas dan menjaga negeri itu dari bahaya banjir. Jembatan itu merupakan salah satu keajaiban dunia. Panjangnya mencapai 800 ba’ (satu ba’ sepanjang dua kali tangan), tinggi 60 ba’, lebar 20 ba’ dengan 18 pintu air dan 19 pilar, hingga kini menjadi kebanggaan bangsa Spanyol.
Setiap kali Abdurrahman mengunjungi masih-masing wilaya tak lupa beliau mengadakan pertemuan dengan para pimpinan angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh masyarakat. Beliau memperhatikan dan mencatat pandangan dan usul-usul mereka. Beliau lebih banyak mendengarkan tanggapan dalam pertemuan-pertemuan itu daripada berbicara. Pertemuan serupa juga digelar untuk para pemuka dzimmi yang terikat perjanjian dengan muslimin. Tak jarang dia bertanya sampai mendetail hal ihwal negeri dan pemimpin mereka.
Abdurrahman Al-Ghafiqi pernah mengundang seorang dzimmi keturunan Prancis yang terikat perjanjian. Di antara isi perbincangan tersebut adalah sebagai berikut. Abdurrahman bertanya, “Mengapa raja kalian, Syarl tidak turun untuk membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan kami?” Dzimmi itu menjawab, “Wahai gubernur, Anda telah menepati janji-janji kepada kami. Anda berahk kami pecayai dan kami akan menjawab dengan jujur segala yang Anda tanyakan. Sesungguhnya panglima besar Anda, Musa bin Nushair telah berhasil menguasai seluruh Spanyol. Kemudian dia ingin melintasi pengunungan pyrenees yang memisahkan Spanyol dengan negeri kami yang indah. Maka raja-raja kecil dan para rahib itu menghadap raja kami dan berkata, “Kehinaan apa yang menimpa kita, waha maha raja? Kami mendengar tentang kaum muslimin dan mengira mereka akan datang dari arah timur, namun ternyata mereka muncul dari arah barat dan langsung menguasai Spanyol. Padahal negeri ini mempunyai persenjataan dan pertahanan yang kuat. Kini mereka mulai merayap di gungung-gunung yang membatasi negeri Spanyol dengan negeri kita. Sebenarnya jumlah mereka kecil, persenjataan sedikit dan kebanyak tidak memiliki pakaian perang yang bisa melindungi tubuh dari sabetan pedang atau kuda-kuda gagah untuk ditunggangi di medan perang.”
Kemudian maha raja berkata, “Masalah ini sudah saya pikirkan secara mendalam dan saya mengira untuk saat ini kita tidak perlu menghadapi mereka secara langsung. Mereka orang-orang bermental baja, bagaimana gelombang besar yang menyapu penghalang dan mencampakkannya kemana dia suka. Selain itu, mereka adalah kaum yang memiliki akidah yang kokoh sehingga tak menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka punya iman dan kejujuran yang jauh lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian perang ataupun kuda. Oleh karen itu, lebih baik kita membiarkan mereka, kaum muslimin terus menumpuk harta dan ghanimah, lau membangun rumah dan gedung-gedung serta melipat gandakan jumlah budak laki-laki dan perempuan dan lihatlah, mereka pasti akan berebut kekuasaan. Pada saat itu kita bisa menaklukkan mereka dengan mudah tanpa banyak pengorbanan…”
Tersentaklah Abdurrahman Al-Ghafiqi, sedih rasanya mendengar berita itu. Dia menghela nafas dalam-dalam kemudian membubarkan majelis seiring dengan masuknya waktu shalat.
Dua tahun penuh Abdurrahman Al-Ghafiqi memperiapkan diri untuk menyongsong perang besar itu. Beliau membentuk kesatuan-kesatuan prajurit dan tak henti-hentinya membakar gelora jihad mereka. Di samping itu, beliau juga meminta bantuan kepada para pemimpin Islam di Afrika untuk mengirim prajurit-prajurit mereka yang memiliki nyali jihad dan rindu syahid.
Setelah itu, beliau mengutus Utsman bin Abi Nus’ah amir penjaga perbatasan untuk menyibukkan musuh dengan serangan-serangan sporadis sambil menunggu pasukan inti yang dimpimpin oleh Abdurrahman Al-Ghafiqi tiba di medan perang.
Akan tetapi, ternyata pilihan Abdurrahman Al-Ghafiqi keliru. Utsman bin Abin Nus’ah adalah orang yang ambisius tetapi berwatak lemah. Jarak yang jauh dari pemimpinnya membuka peluang baginya untuk melakukan langkah-langkah yang bisa mengangkat namanya tanpa memperhatikan persoalan lainnya. Dia bahkan menculik putri Duke Octania bernama Minin, seorang putri yang amat jelita. Dala dirinya terkumpul kecantikan, kebangsawanan, usia beliau dan kekayaan sebagai penghuni istana. Tak heran bila Utsman bin Abin Nus’ah akhirnya tergila-gila padanya dan memberikan perhatian berlebih dibanding kepada seorang istri. Putri itu mengusulkan agar Utsman bin Abi Nus’ah mengadakan perjanjian damai dengan Duke Octania disertai jaminan bahwa ayah Minan itu aman dari prajurit Islam.
Begitulah, tatkala tiba perintah Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk menyerbu wilayah kekuasaan Duke Octania, rasa bimbang menylimuti hati Ibnu Abin Nus’ah. Dia tak tahu harus berbuat apa, tapi kemudian dia membujuk agar Abdurrahman Al-Ghafiqi membatalkan perintahnya. Dia benar-benar tak sanggup mengkhianati janjinya terhadap ayah mertuanya sebelum habis masanya.
Bukan main berangnya Abdurrahman Al-Ghafiqi begitu mengetahui duduk perkaranya. Melalui utusan, beliau berpesan kepada Utsman bin Abin Nus’ah, “Perjanjian yang Anda lakukan tanpa seizin pemimpin adalah tidak sah, maka tidak ada keharusan bagi para prajurit Islam untuk mematuhinya. Sekarang laksanakan perintahku segera, seranglah musuh sekarang juga!”
Ibnu Abi Nus’ah merasa putus asa karena gagal melunakkan sikap gubernurnya. Dia bersegera mengirim utusan kepada ayah mertuanya untuk memberitahukan apa yang terjadi dan memperingatkan agar waspada terhadap pasukan kaum muslimin.
Namun sayang, mata-mata Abdurrahman Al-Ghafiqi yang selalu mengawasi gerak-geriknya mengetahui hal itu dan melaporkan hubungan Utsman bin Abin Nus’ah dengan musuh kepada Abdurrahman Al-Ghafiqi. Segera setelah itu, Al-Ghafiqi mengirimkan pasukan khususnya yang tangguh di bawah komando Mujahid untuk membawa Utsman bin Abin Nus’ah hidup atau mati.
Serangan dilakukan secara mendadak. Operasi itu nyaris berhasil, namun Utsman bin Abin Nus’ah berhasil meloloskan diri dari kepungan. Dia lari ke gunung diserta beberapa orang, demikian pula dengan Minim, istri cantiknya yang tak lagi bisa dipisahkan darinya.
Hal itu tidak membuat pasukan Islam patah arang. Mereka terus mengejar dan akhirnya berhasil menyudutkan pengkhianat itu di suatu tempat. Akhirnya, Utsman bin Abin Nus’ah mempertahankan diri habi-habisn. Dia tewas karena banyaknya tusukan tombak dan sabetan pedang yang melukai tubuhnya. Mayatnya segera dikirm kepada Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama istrinya.
Begitu melihat Minim, Abdurrahman Al-Ghafiqi segera memalingkan wajahnya. Wanita itu memang cantik luar biasa. Selanjutnya dia dikirim ke Damaskus untuk diserahkan kepada khalifah. Maka tamatlah riwayat wanita Prancis itu di istana Umayah di Damaskus.
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 326-338.
0 komentar:
Posting Komentar