Hampir
semua Imam madzhab yang masyhur itu tidak pernah menuliskan fatwa-fatwa
beliau sendiri, akan tetapi muridnyalah yang kemudian dengan semangat
menuntut ilmu mengabadikan fatwa serta ijtihad imam madzhabnya dari
korespondensi langsung atau dari apa yang beliau ajarkan dalam
majlisnya.
Dari
madzhab tertua, seperti Imam Abu Hanifah (150 H) yang madzhabnya
ditulis oleh 2 sahabat dan juga muridnya, yaitu Imam Abu Yusuf (182 H),
dan juga Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (189 H). atau juga Imam
Zaid bin Ali (122 H) yang dituliskan fatwa dan riwayatnya oleh Abu
Kholid Amr bin Kholid Al-Wasithy (150 H).
Dan
begitu juga seterusnya, sampai pada masanya Imam Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal (241 H). Dikecualikan madzhab Al-Syaf’iyyah, karena dalam
sejarahnya Imam Syafi’i adalah satu-satunya Imam madzhab yang menuliskan
masalah-masalah fiqih serta ushul madzhabnya sendiri.
Tapi
ada satu yang membedakan dari kesamaan ini adalah bahwa Imam Ahmad,
beliau adalah Imam madzhab yang paling banyak riwayatnya dalam satu
masalah fiqih. Bahkan dalam satu masalah, ada lebih dari 8 sampai 10
riwayat yang dinisbatkan kepadanya.
Berbeda
dengan Imam lainnya yang hanya mempunyai satu riwayat fatwa dalam satu
masalah. kalau pun ada, pastilah tidak sampai lebih dari 2 riwayat. Dan
ini bukan sesuatu yang aneh lagi bagi para pembelajar litelatur fiqih 4
madzhab.
Lalu
kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin satu orang yang sama tapi
mempunyai pendapat yang banyak sekali dalam satu masalah? apa Imam Ahmad
selalu berganti-ganti fatwa? Atau mungkin ada penyebab lain?
Tentu
ini sangat berhubungan erat dengan apa yang dilakukan oleh Imam Ahmad
semasa hidupnya dalam menuntut ilmu juga ketika beliau menjadi Imam dan
menjadi rujukan masalah-masalah hukum fiqih bagi kaumnya ketika itu.
Imam Ahmad Melarang Muridnya Menulis Fatwa Beliau
Ini
adalah sebab utama dimana riwayat Imam Ahmad menjadi sangat banyak dan
berbeda-beda dalam satu masalah fiqih, yaitu karena memang beliau
sendiri melarang keras muridnya atau siapa yang mnedengarkan
pelajarannya untuk menulis apa yang beliau ajarkan.
Imam Ahmad adalah imam madzhab yang terkenal wara’
sekali dalam segala hal, baik muamalahnya dengan orang lain atau juga
dalam prosesnya mencari ilmu. Sepanjang hidupnya ia habiskan untuk
menuntut ilmu, ilmu hadits khususnya. Beliau berjalan jauh untuk
mengambil satu buah hadits langsung dari perawinya.
Dan
beliau adalah satu-satunya Imam madzhab yang melarang penulisan kitab
apapun selain Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Hanya 2 hal itu yang pantas
dibukukan, selain keduanya tidak layak untuk mendapat hal yang sama
dengan al-Quran dan Hadits utnuk dibukukan. Bahkan beliau juga tidak
menulis fatwa gurunya sendiri yaitu Imam Al-Syafi’i.
Dalam Tabaqat Al-Hanabilah, Imam Abu Ya’la (526 H) menceritakan kisahnya Imam Ahmad dengan salah seorang muridnya yang bertanya kepada beliau: “Apakah aku boleh menulis kitab Al-Ra’yu (fatwa mujtahid)?”.
Imam Ahmad menjawab: “Jangan! Cukupkan saja dirimu (menulis) Atsar dan Hadits!”. Muridnya menbalas: “Tapi Imam Ibnu Al-Mubarok menulis itu semua!”. Imam Ahmad menjawab:
إِن ابْن الْمُبَارك لم ينزل من السَّمَاء إِنَّمَا أمرنَا أَن نَأْخُذ الْعلم فَوق
“Ibnu Al-Mubarak tidak turun dari langit. Urusan kita itu hanya mengambil ilmu yang datang dari atas (wahyu)”[1]
Namun
nyatanya, walaupun beliau telah melarang muridnya dan siapapun yang
mendengarkannya untuk menulis, setelah beliau meninggal banyak
bermunculan kitab-kitab yang isinya adalah fatwa-fatwa beliau (Imam
Ahmad) dalam masalah fiqih.
Dalam
kitabnya yang membahas khusus tentang Imam Ahmad, Sheikh Muhammad Abu
Zahroh mengatakan bahwa masjid Jami’ Baghdad itu selalu dipenuhi ribuan
orang ketika Imam Ahmad mengelar kajiannya yang dilakukan setiap sholat
Ashar.[2]
Nah, karena banyaknya orang yang mendengarkannya itu, maka wajar banyak yang menuliskan fatwa beliau. Lalu kenapa berbeda?
Bisa
jadi satu orang menulis, kemudian yang lain menulis dengan pemahaman
yang berbeda dengan yang lain. Dan yang semakin membuat priwayat itu
berbeda ialah tidak adanya upaya Verifikasi (Tahqiq) kepada Imam Ahmad langsung tentang apa yang sudah mereka tulis, mungkin saja Imam Ahmad punya maksud lain dari fatwanya.
Tapi
siapa yang berani datang kepada Imam Ahmad untuk meminta verifikasi
atas apa yang ia tulis? Toh beliau saja malarang untuk ditulis fatwanya.
Akhirnya karena tidak ada upaya verifikasi langsung inilah yang membuat
banyak riwayat Imam Ahmad dan dari banyaknya itu banyak juga yang
saling bertentangan.
Sejatinya
satu factor ini sudah cukup untuk mengetahui kenapa banyaknya riwayat
fiqih yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang saling
berselisih dan saling bertentangan. Yaitu factor larangan beliau kepada
murid-muridnya.
Madzhab Imam Ahmad = Madzhab Ahli Hadits
Imam
Ahmad adalah seorang perawi hadits, sepanjang hayatnya, beliau habiskan
untuk mencari sanad hadits dan mendengarkan langsung matan hadits
dari mulut perawi tanpa perantara. jika ia tahu bahwa hadits yang
didapatnya itu diriwayatkan oleh seseorang yang masih hidup, beliau
tpasti mendatangi orang tersebut walau jauh tempatnya.
Kecintaannya
terhadap hadits sudah tidak bisa diukur dengan harta manapun. Beliau
menilai tidak ada yang lebih berharga dibanding mencari ilmu yang Rasul
saw wariskan. Karena cintanya yang cukup besar ini, madzhab beliau
sangat erat sekali hadits.
Jika
beliau ditanya suatu masalah, beliau tidak langsung menjawab, akan
tetapi mencari hadits yang berkenaa dengan pertanyaan itu. Jika ada,
maka beliau cukupnya dengan hadits, jika tidak beliau enggan untuk
langsung berfatwa akan tetapi menunggu beberapa hari sampai menemukan
hadits. Atau tidak jarang beliau ber-tawaqquf (absen).
Dan
tidak jarang juga, fatwa beliau hari ini itu berbeda dengan yang
kemarin karena hari ini beliau mendapat hadits dalam masalah yang sama
namun berbeda isi kandungan hukumnya denga hadits yang kemarin.
Dalam kitab Al-Musawwadah karangan keluarga Taimiyah
(Majdudin, Abdul Halim, Taqiyudin) diceritakan kisah Imam Ahmad yang
membuat muridnya bingung karena beliau (Imam Ahmad) ditanya sesuatu
namun jawabannya berbeda dengan apa yang ia jawab sebelumnya padahal
masalahnya sama. Sang Imam Menjawab:
ليس لنا مثل أبى حنيفة أبو حنيفة كان يقول بالرأى وأنا أنظر فى الحديث فإذا رأيت ما أحسن أو أقوى أخذت به وتركت القول الاول
“Aku
tidak seperti Abu Hanifah, Abu Hanifah menjawab dengan ra’yu logika)
sedangkan aku melihat hadits. Jika aku mendapati ada yang lebih baik dan
lebih kuat, maka aku ambil itu dan aku tinggalkan pendapat yang
pertama”. [3]
Nah,
ini juga yang bisa memunculkan adanya perbedaan di antara riwayat Imam
Ahmad sendiri dalam masalah-masalah fiqihnya. Bisa jadi fatwa beliau
hari ini dalam satu maslaah tertentu yang berbeda denan sebelumnya itu
tidak didengar oleh muridnya yang sebelumnya yang sudah menulis fatwa
beliau di hari kemarin.
Akhirnya,
ada beberapa riwayat Imam Ahmad yang saling bertentangan. Jadi bukan
karena Imam Ahmad itu sendiri, melainkan muridnya yang memang hanya
mendengar sekali dan tidak tahu bahwa Imam Ahmad sempat merubah
fatwanya.
Kitab Rujukan Madzhab Imam Ahmad
Melihat
banyaknya riwayat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad dalam satu masalah
fiqih akhirnya membuat rancu juga bagi para pembelajar fiqih di zaman
setelahnya dalam menentukan, mana pendapat Imam Ahmad dan mana yang
bukan.
Karena
beberapa ulama dari kalangan Al-Hanabilah membuat riwayat-riwayat
tersebut menjadi ramping dan membuang beberapa riwayat yang memang tidak
sesuai dengan kaidah serta ushul madzhab Al-Hanabilah sendiri. Guna
mempermudah mengetahu mana pendapat resmi madzhab dan mana yang bukan.
Di antara ulama yang mem-verifikasi pendapat madzhab Imam Ahmad beserta kitabnya tersebut ialah:
- Imam Ibnu Qudamah (620 H), kitabnya Al-Mughni
- Imam Al-Mardawi (885 H), kitabnya Al-Inshaf fi Ma’rifati al-Rajih Minl-Khilaf
- Imam Al-Buhuti (1051 H), kitabnya Kasysyaful-Qina’
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar