Oleh: Ahmad Zarkasih, Lc
Para
sejarawan mengatakan bahwa Imam Al-Syafi’i adalah satu-satunya Imam
Madzhab yang menyebrakan madzhabnya sendiri. Yaitu ia menyebarkan
madzhab sendiri dengan perjalanan-perjalanan yang ia lakukan untuk
menuntut ilmu.
Sampai pada satu daereh, beliau memulai studinya dan juga mengajarkan. Terlihat ketika beliau belajar di Hijaz kepada Imam Malik (179 H), lalu mulai menggantikan posisi Imam Malik untuk menjadi pengajar Fiqih di Masjid Nabawi.
Tidak lama berselang, muncul keinginannya untuk mempelajari fiqih Ahl Al-Iraq, yaitu fiqih madzhab-nya Imam Abu Hanifah (150 H). Sampai di Iraq beliau menghabiskan waktunya untuk mempelajari Fiqih Hanafi dari “bapak”[1]-nya, yaitu Imam Muhammad bin Hasan (189 H) yang merupakan murid langsung Imam Abu Hanifah.
Di Baghdad, sang Imam bukan hanya menuntu ilmu dari kedua sahabat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan juga Ya’kub Abu Yusuf (184 H). Beliau
juga menyebarkan pendapatnya pribadi dan menuliskannya dengan
mendiktekannya kepada salah seorang muridnya di Baghdad, yaitu Ibnu Shobah Al-Za’faroni (259 H).
Setelah Baghdad, beliau mulai lagi rihlah (perjalanan) menuntut ilmu ke Mesir guna mempelajari Fiqih-nya Imam Al-Laits bin Sa’d (175 H), yang merupakan sahabat Imam Malik bin Anas. Di Mesir, beliau juga menyebarkan madzhabnya yang kemudian muridnya Al-Rabi’ bin Sulaiman (270 H) menjadi penulis bagi kitabnya Imam Syafi’i.
Nah,
ketika di Baghdad itulah Imam Syafi’i banyak berdiskusi dengan para
ulama madzhab Hanafi, termasuk bapaknya yaitu Imam Muhammad bin Hasan
Al-Syaibani perihal kehujahan hadits Ahad. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang di setiap tingkatannya.
Imam Syafi’i Nashiru Sunnah (Pembela Sunnah)
Di sinilah kemudian beliau mendapatkan gelar Nashiru Al-Sunnah (Pembela Sunnah). Apa sebab sehingga Imam Al-Syafi’i digelari sebagai Pembela Sunnah?
Kita harus lihat kembali apa yang dilakukan oleh para ulama madzhab Imam Abu Hanifah perihal hadits ahad untuk
dijadikan sebagai landasan dalil bagi mereka. Sudah masyhur bahwa
madzhab Imam Abu Hanifah sangat ketat sekali menerima sebuah hadits
dalam masalah-masalah fiqih madzhab mereka.
Mereka tidak menerima hadits kecuali jika itu diriwayatkan oleh orang banyak, artinya hadits itu haruslah mutawatir. Tidak
diriwayatkan hanya satu orang, dengan asumsi bahwa perawi itu bisa saja
bohong melihat kondisi sosial dan politik ketika itu.
Kalau pun ada hadits ahad, mereka hanya menerima jika itu diriwayatkan oleh para ulama ulama Iraq yang masyhur dan dipercaya (Tsiqah), yaitu guru-guru mereka, seperti Ibrahin Al-Nakho’i, Hammad bin Sulaiman, atau juga Alqamah.
Karena
kriteria yang ketat inilah membuat perbendaharaan hadits kaum muslim
ketika itu sangat dikit sekali, sehingga wajar saja akhirnya banyak yang
menggunakan ro’yu (logika) dalam memutuskan sebuah hukum perkara, dan itu yang dilakukan oleh madzhab Imam Abu Hanifah.
Nah,
ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, beliau mendebati dan membantah
semua argument para ulama madzhab Imam Abu Hanifah perihal penolakan
mereka terhadap hadits Ahad.
Dan argument-argumen Imam Syafi’i ini termaktub dalam kitab ushul-nya, yaitu kitab Al-Risalah. Setidaknya ada 4 argumen sang Imam perihal pembelaannya terhadap kehujahan hadits Ahad di depan Jemaah Imam Abu Hanifah:
- Dalam dakwahnya, Nabi saw mengutus sahabat beliau untuk menyebarkan Islam ke pelosok Jazirah yang jumlahnya tidak sampai derajat tawatur[2] bahkan hanya satu orang utusan. Artinya hadits yang disampaikan oleh utusan sahabat itu adalah hadits Ahad. Kalau sedanianya harus dengan hadits mutawatir, pastilah Nabi saw akan mengirim lebih banyak lagi. Tapi Nabi hanya mengirim dalam jumlah yang tidak banyak, bahkan hanya satu orang seperti Muadz yang diutus ke Yaman.
- Dalam sejarahnya, Nabi saw memutuskan perkara peradilan pidana dalam hal qishash itu hanya dengan kesaksian 2 orang. Dan 2 orang bukanlah jumlah tawatur, akan tetapi Nabi saw menerima kesaksian mereka.
- Dalam haditsnya, Nabi saw memerintahkan bagi siapa yang mendengar hadits darinya untuk disampaikan kepada yang lain walaupun hanya satu orang. Dan beliau memuji mereka yang melakukan hal serupa. Kalau memang hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dalil, pastilah Nabi saw mensyaratkan orang banyak untuk menyamoaikan hadits, karena pastinya banyak hadits-hadits hukum yang disampaikan beliau. Tapi Nabi saw tidak mensyaratkan itu.
- Setelah Nabi saw wafat, para sahabt ridhwanullah ‘alaihim juga meriwayatkan hadits dan menyampaikannya ke pelosok negeri dengan jalur seorang diri. Kalau seandainya harus dengan jumlah banyak, pastilah mereka mensyaratkan itu, tapi nyatanya tidak.
Ini adalah di antara Hujjah Imam Syafi’i yang beliau tuliskan dalam kitabnya Al-Risalah (hal. 401), sebagai bentuk pembelaan terhadap hadits Nabi saw sehingga tidak terabaikan.
Bahkan bukan hanya perihal ihtijaj (menjadikan argument) dengan hadits Ahad saja. Beliau juga menuliskan bagaimana sebuah hadits ahad itu diterima dan dikatakan sah sebagai hadits sehingga bisa dijadikan sandaran dalil.
Yang kalau dalam ilmu musthalah hadits sekarang
dikatakan sebagai kriteria penerimaan hadits shahih. Maka tidak heran
tidak sedikit ulama yang mengatakan bahwa kitabnya, Al-Risalah ini juga bisa disebut sebagai kitab musthalah hadits, karena di dalamnya mencakup banyak permasalah materi musthlaha hadits, terutama dalam kriteria menerima hadits tersebut.
Berkat
upaya beliau inilah, sehingga muslim kembali punya perbendaharaan yang
banyak terhadap hadits. Mereka tidak lagi harus menimbang apakah hadits
itu diriwayatkan oleh banyak atau sedikit. Yang penting itu diriwayatkan
oleg tsiqah dari tsiqah juga, tidak peduli berapa jumlahnya.
Kalau hanya hadits mutawatir yang
diterima, pastilah umat muslim sangat sulit sekali mencari pegangan
yang bisa dijadikan sandaran dalam ibadah-badaha mereka. Karena
bagaimanapun hampir semua ibadah orang muslim itu sandarannya adalah
hadits ahad, melihat bahwa hadits mutawatir memang sangat sedikit sekali jumlahnya.
Itu dia kenapa Imam Syafi’i mendapatkan gelar Nashiru Sunnah.
Jadi wajar saja kalau Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) sering mendoakan Imam Syafi’i dan memujinya. Salah satu pujian Imam Ahmad yang masyhur ialah:
كان الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للناس
“Imam Syafi’I itu seperti matahri bagi dunia, dan seperti kesehatan bagi manusia (semua orang membutuhkannya)” (Tarikh Baghdad 2/66)
[1]
Beberapa ulama menyebut kalau Imam Muhammad bin Hasa adalah ayah angkat
Imam Al-Syafi’i. karena ketika di Baghdad, semua kebutuhan Imam
Al-Syafi’i ditanggung oleh Imam Muhammad bin Hasan, dari mulai tempat
tinggal sampai kitab-kitab madzhab ulama. Bahkan kepergiannya ke Mesir
itu juga dibiayai oleh Imam Muhammad bin Hasan, yang mana beliau memang
sangat berkecukupan karena posisinya sebagai penasehat Abbasiah.
[2]
Jumlah perawi sampai hadits itu dikatakan sebagai hadits mutawatir ialah
minimal 10 orang. Walaupun ada juga ulama hadits yang tidak membatasi
jumlah minimal, yang terpenting ialah diriwayatkan oleh orang banyak
yang tidak mungkin ada kebohongan atau pemalsuan di dalamnya.
0 komentar:
Posting Komentar