Senin, 19 Januari 2015

 


“ Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untaian kalimat?” Tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang anak kecil.
“ Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.”
Pemuda kecil itu termangu di depan Rasulullah. Ia memusatkan konsentrasi pada setiap kata yang keluar dari bibir manusia paling mulia tersebut. “ Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Pemuda beruntung tersebut adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas, begitu ia biasa dipanggil.
Dalam satu hari tersebut, ia menerima banyak ilmu. Bak pepatah, sekali dayung dua, tiga pulau terlampaui. Nasehat Rasulullah saat itu telah memenuhi rasa ingin tahunya. Pelajaran aqidah, ilmu, dan amal sekaligus ia terima dalam sekali pertemuan.

Keakrabannya dengan Rasulullah sejak kecil membuat ibnu ‘Abbas tumbuh menjadi seorang lelaki berkepribadian luar biasa. Ia adalah seorang pemuda yang penuh dengan keikhlasan, keberanian dan gairah jihadnya sepanas terik matahari gurun. Kasihnya seperti oase di tengan sahara.
Hidup bersama Rasulullah benar-benar telah membentuk karakter dan sifatnya.

Sebuah kisah menarik melukiskan bagaimana ibnu ‘Abbas ingin selalu dekat dan belajar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, benarknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar, tentang bagaimana cara Rasulullah shalat. Malam itu, sengaja ia menginap di rumah bibinya, Maimunah binti al-Harits, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sepanjang malam ia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulullah bangun untuk menunaikan shalat. Segera ia mengambil air untuk bekal wudhu Rasulullah. Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan ‘Abdullah ibnu ‘Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudhu untuknya.
Rasa bangga dan kagum menyatu dalam dada Rasulullah. Beliau menghampiri ibnu ‘Abbas, dan dengan lembut membelai kepalanya kemudian berdoa, “ Yaa Allah, berikanlah ia pengetahuan tentang agama-Mu. Dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu.” Demikianlah doa Rasulullah kepada ibnu ‘Abbas.
Setelah berwudhu, Rasul kembali masuk ke kediaman beliau untuk menunaikan shalat malam bersama dengan istri beliau. Tak tinggal diam, Ibnu ‘Abbas pun ikut menjadi makmum. Awalnya dia berdiri sedikit di belakang Rasulullah, kemudian tangan Rasulullah menariknya untuk maju dan hampir sejajar dengan beliau. Tapi kemudian ia munduk ke belakang, kembali ke tempatnya semula.
Usai shalat, Rasulullah bertanya pada Ibnu ‘Abbas, kenapa ia melakukan hal itu. “ Wahai kekasih Allah, tak pantas kiranya aku berdiri sejajar dengan utusan Allah.” Jawabnya. Di luar dugaan, Rasulullah tidaklah marah atau menunjukkan raut wajah tidak suka. Beliau justru tersenyum ramah menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya. Bahkan beliau mengulangi doa yang beliau panjatkan saat ibnu ‘Abbas membawa air untuk berwudhu tadi.

‘Abbdullah bin ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah. Saat Rasulullah wafat, ia masih berumur tiga belas tahun. Semasa hidupnya, Rasulullah benar-benar akrab dengan mereka yang hampir seusia dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas.
Kerap kali Rasulullah meluangkan waktu dan bercanda bersama mereka. Tapi tak jarang pula, Rasulullah menasehati mereka. saat Rasulullah wafat, ibnu ‘Abbas benar-benar merasa kehilangan sosok yang sejak awal menjadi panutannya, kini telah tiada. Siapa lagi yang menghibur kesedihannya di malam yang dingin dan gelap, dengan senyum dan doa yang sejuk tiada tara. Siapa lagi yang menanamkan semangat saat jiwa layu dan hati lusuh tertutup debu. Tapi keadaan tersebut tak berlangsung lama. Ibnu ‘Abbas segera bangkit dari kesedihannya, iman tak boleh dibiarkan terus layu. Meski Rasulullah telah wafat, semangat jihad tak boleh redup. Maka ibnu ‘Abbas pun mulai melakukan perburuan ilmu.

Didatanginya sahabat-sahabat senior, ia bertanya tentang apa saja yang mesti ditimbanya. Tidak hanya itu, ia juga mengajak sahabat-sahabat lain yang seusianya untuk belajar. Tapi sayang, tak banyak yang mengikuti jejak Ibnu ‘Abbas. Sahabat-sahabat ibnu ‘Abbas merasa tak yakin, apakah sahabat-sahabat senior mau memperhatikan mereka yang masih anak-anak ini. Meski demikian, hal ini tidak membuat ibnu ‘Abbas patah semangat, apa saja yang menurutnya belum ia pahami, ia tanyakan pada sahabat-sahabat yang lebih tau.
Ia ketuk satu pintu rumah sahabat dan berpindah ke pintu yang lain. Tak jarang ia harus tidur di depan pintu rumah para sahabat, karena mereka sedang beristirahat di dalam rumahnya. Tapi betapa terkejutnya mereka tatkala menemukan ibnu ‘Abbas sedang tidur di depan pintu rumah mereka.

“ Wahai keponakan Rasulullah, kenapa tidak kami saja yang menemui anda?” Kata para sahabat yang menemukan ibnu ‘Abbas tertidur di depan pintu rumahnya beralaskan selembar baju yang ia bawa.
“ Tidak, akulah yang mesti mendatangi anda.” Kata ibnu ‘Abbas tegas. Demikianlah kehidupan ibnu ‘Abbas, sampai kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Karena tingginya ilmu beliau di usia yang masih muda, ada orang yang bertanya tentangnya.
“ Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini, wahai ibnu ‘Abbas?
“ Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berpikir.” Demikian beliau menjawab.
Karena ketinggian ilmunya itulah ia kerap menjadi kawan dan lawan berdiskusi para sahabat senior lainnya. Umar bin Khattab misalnya, selalu memanggil ibnu ‘Abbas untuk duduk bersama dalam sebuah musyawarah. Pendapat-pendapatnya selalu didengar. Sampai-sampai Amiirul-Mukminin kedua itu memberikan julukan kepada ibnu ‘Abbas sebagai “ pemuda tua”.
Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meminta kepada Allah, agar menjadikan ibnu ‘Abbas sebagai seorang yang mengerti perkara agama telah terwujud. Ibnu ‘Abbas adalah tempat bertanya karena kegemarannya bertanya. Ibnu ‘Abbas tempat mencari ilmu karena kesukannya terhadap ilmu.
Salah seorang sahabat yang mulia, Sa’ad bin Abi Waqqash pernah berkata tentang ilmu ibnu ‘Abbas.
“ Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti dan lebih tajam pikirannya seperti ibnu ‘Abbas. Ia juga seorang yang banyak menyerap ilmu dan luas sifat santunnya. Sungguh telah kulihat, ‘Umar telah memanggilnya saat menghadapi masalah-masalah pelik. Padahal di sekelilingnya masih banyak sahabat yang ikut dalam perang Badr. Lalu majulah ibnu ‘Abbas menyampaikan pendapatnya, dan ‘Umar tidak ingin berbuat melebihi apa yang dikatakan ibnu ‘Abbas.”

Pada masa khalifah ‘Utsman, ibnu ‘Abbas mendapat tugas untuk pergi berjihad ke Afrika Utara. Bersama pasukan di bawah pimpinan ‘Abdullah bin Abi Sarh, ia berangkat sebagai mujahid dan juru dakwah. Di masa kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib, ia pun menawarkan diri sebagai utusan yang akan berdialog dengan kaum Khawarij dan berdakwah pada mereka. Sampai-sampai, lebih dari 15.000 orang memenuhi seruan Allah untuk kembali pada jalan yang lurus. Di usianya yang ke 71 tahun. Allah memanggilnya. Saat itu umat Islam benar-benar kehilangan seorang dengan kemampuan dan pengetahuan yang luar biasa.

“ Hari ini telah wafat ulama umat ini.” Kata Abu Hurairah menggambarkan rasa kehilangannya.
Sumber: Diadaptasi dari 101 Sahabat Nabi, peny. Hepi Andi Bastoni. (Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 15-18.

0 komentar:

Posting Komentar