Jumat, 02 Januari 2015



Ia adalah paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, “ ‘Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti ‘Abbas sama dengan menyakitiku.”

Di zaman jahiliyyah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Ia dekat dengan Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali dengannya. Ia pernah menjadi pembantu dan penasehat utamanya dalam bai’at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan pasukan gajah yang hendak menghancurkan Ka’bah di Makkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.

Pada waktu ‘Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Sang ibu lalu bernazar, jika putranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama kemudian, ‘Abbas ditemukan, maka ia pun menepati nadzarnya itu.

Istrinya dikenal dengan panggilan Ummu Fadhl. Karena anak sulungnya bernama al-Fadhl. Wajahnya tampan, ia duduk di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji Wada’. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang lain sebagi berikut, ‘Abdullah, anak kedua ‘Abbas seorang ahli agama yang mendapat doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya sangat mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma’bad, syahid di Afrika. ‘Abdullah yang kedua, orangnya baik, kaya, dan murah hati, beliau meninggal dunia di Madinah. Kelima, puteri ‘Abbas yang bernama Ummu Habibah, tidak banyak keterangan dalam sejarah.

Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang keislaman ‘Abbas bin Abdul Muthallib. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukan Khaibar. Ada yang mengatakan lama sebelum Perang Badr. Suatu riwayat menyebutkan bahwa, ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi yang berada di Madinah dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Sedangkan riwayat lain menyebutkan bahwa, ia pernah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “ Kau lebih baik tinggal di Mekah.”

Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi’, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku menjadi pembantu di rumah ‘Abbas bin Abdul Muthallib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. Baik ‘Abbas maupun Ummu Fadhl, kedua-duanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, ‘Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya.”

Ia selalu menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ka’bah. Ka’ab bin Malik mengutarakan, “ Kami (saya dan al-Barra’ bin Ma’rur) mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah sebelumnya. Kami bertemu dengan seorang penduduk kota Mekkah. Kami tanyakan di mana kami bisa menemui Rasulullah.

Ia balik bertanya, ‘ Apakah kalian berdua mengenalnya?’

Kami menjawab, ‘ Tidak!’

Ia lalu bertanya, ‘ Kalian mengenal ‘Abbas bin Abdul Muthallib, pamannya?’

Kami menjawab, ‘ Ya!’ memang kami sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan.

Orang tadi lalu berkata, ‘ Kalau kalian masuk ke Masjidil Haram, orang yang duduk di sebelah ‘Abbas itulah orang yang kalian cari.’ Kemudian, kami masuk ke Masjidil Haram. Ternyata, kami menemukan ‘Abbas duduk di sana dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di sebelahnya.”

‘Abbas radliyallahu ‘anhu mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan dalam peristiwa baiat al-Aqabah. Ia orang pertama yang berpidato dalam majelis itu. 

‘Abbas berkata, “ Wahai kaum Khazraj, (pada masa itu suku al-Aus dan al-Khazraj dipanggil dengan al-Khazraj saja) kalian seperti yang saya ketahui telah mengundang datang Muhammad. Ketahuilah bahwa Muhammad adalah orang yang paling mulia di tengah-tengah keluarganya. Ia dibela oleh orang-orang yang sepaham dan orang-orang yang tidak sepaham dengan pikirannya, demi memelihara nama baik keluarga. Muhammad sudah menolak tawaran orang lain selain kalian. Kalau kalian memiliki kekuatan, ketabahan, dan pengetahuan tentang ilmu peperangan, serta mempunyai kekuatan menghadapi persekutuan dan permusuhan seluruh bangsa Arab, karena mereka akan menyerang kalian dengan satu busur dan satu anak panah, maka camkanlah baik-baik terlebih dahulu, musyawarahkanlah antara kalian dengan mufakat dan kebulatan tekad dalam majelis ini karena sebaik-baik bicara adalah perkataan yang jujur.”

Kata-kata itu menunjukkan pengetahuannya yang luas dan pemikirannya yang cerdas tentang berbagai persoalan. Ia ingin mengenali hakikat kaum Anshar dan membangkitkan kesiapsiagaan mereka. 

Lalu ia berkata, “ Cobalah kalian ceritakan kepadaku bagaimana kalian berperang menghadapi musuh?”

‘Abdullah bin ‘Amru bin Haram bangkit memberikan jawaban, “ Percayalah bahwa kami adalah ahli perang, kami memperoleh keahlian itu berkat kebiasaan dan latihan kami dan berkat warisan nenek moyang kami. Kami lepaskan anak panah sampai habis, lalu kami mainkan tombak sampai patah, kemudian kami menyerang dengan pedang, berperang tanding hingga tewas atau menewaskan musuh kami.”

Cerahlah wajah ‘Abbas mendengarkan keterangan mereka itu dan amanlah rasanya untuk menyerahkan keponakan yang ia cintai, seseornag yang paling dekat di hatinya. Seperti ada yang ia lupakan. 

‘Abbas kemudian berkata, “ Kalian mengatakan bahwa kalian adalah kaum yang ahli dalam berperang, apakah kalian memiliki baju besi?” 
 
Mereka menjawab, “ Ya, lengkap.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membaiat mereka dan ‘Abbas mengambil tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengukuhkan baiat itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Yatsrib sedangkan ‘Abbas tetap tinggal di Mekkah, mendengar berita Rasulullah dari kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita tentang kaum Quraisy, hingga berkecamuknya perang Badr. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu bahwa ‘Abbas dan keluarganya dipaksa keluar berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak berdaya untuk menolaknya.

Rasulullah bersabda, “ Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim dan yang lainnya, mereka terpaksa keluar. Mereka tidak mempunyai kepentingan untuk memerangi kita. Siapa di antara kalian yang menjumpai mereka, janganlah dibunuh. Siapa yang menjumpai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah di bunuh karena ia terpaksa keluar untuk berperang. ”

Keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tersebar luas di kalangan orang yang pergi ke Badr. Kaum mukminin menerima baik perintah itu, kecuali Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, yang berkata dengan lantang, “ Kami akan membunuh bapak kami, anak-anak kami, saudara-saudara dan keluarga kami. Lalu apakah kami akan membiarkan ‘Abbas? Demi Allah, kalau saya menjumpainya, saya akan memancungnya dengan pedangku ini.”

Kata-kata itu terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepada ‘Umar bn Khaththab, “ Wahai Abu Hafsah, ada juga yang mau membunuh paman Rasulullah dengan pedangnya!

‘Umar lantas berkata, “ Biarkanlah saya penggal leher Abu Hudzaifah dengan pedangku ini ya Rasulullah. Demi Allah, dia itu seorang munafik.” 

Akan tetapi Rasulullah melarang ‘Umar membunuh kawannya yang bersalah. Beliau membiarkan mereka bertobat dan menebus dosa-dosanya. Ternyata Abu Hudzaifah sangat menyesali kata-katanya itu dan senantiasa mengulang-ulang perkataannya, “ Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman atas kata-kata yang pernah aku ucapkan dahulu dan aku senantiasa dikejar-kejar rasa takut olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan kepadaku dengan syahadah!” ternyata, harapannya itu dipenuhi Allah ta’alaa’, ia meninggal dunia sebagai syahid dalam perang Yamamah.

Pada suatu hari, ‘Abbas pergi berhijrah ke Madinah bersama dengan Naufal bin Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun hijrahnya namun mereka sependapat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebidang tanah kepadanya yang berdekatan dengan tempat kediaman beliau.

Di Madinah terjadi pertengkaran antara seseorang dengan ‘Abbas yang berakar sejak zaman jahiliyyah, di mana orang itu memaki-maki ayah ‘Abbas. Gangguan orang itu terhadap ‘Abbas dilakukan secara berulang-ulang sehingga menyakiti hatinya, maka ia menampar laki-laki tersebut. Kabilah orang itu tidak terima dan bersiap-siap akan menuntut balas. Mereka berkata, “ Demi Allah, kami akan menamparnya sebagaimana ia menampar saudara kami!”

Ancaman mereka itu terdengar oleh Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengumpulkan kaum muslimin dan naik ke atas mimbar, seraya memanjatkan pujian kepada Allah dan bersabda, “ Wahai kaum muslimin, tahukah kalian, siapa orang yang paling mulia di sisi Allah ta’alaa?

Mereka menjawab, “ Anda, yaa Rasulullah.”
Tahukah kalian bahwa ‘Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, jangan sampai menyakiti mereka yang masih hidup.”

Kabilah orang tersebut datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “ Ya Rasulullah, kami mohon perlindungan Allah dari kegusaranmu maafkanlah kesalahan kami, ya Rasulullah.” Pernyataan Rasulullah tersebut menguatkan keterangan Abu Majas radliyallahu ‘anhu, tentang sabda beliau, “ ‘Abbas adalah saudara kandung ayahku, Barangsiapa yang menyakitinya, sama dengan menyakitiku.”

Pada suatu hari, ‘Abbas datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memohon dengan penuh harap, “ Ya Rasulullah, apakah anda tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?”

Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui lika-liku jiwa seseorang, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan, beliau tidak ingin pamannya dibebani tugas pemerintahan. Kemudian beliau menjawab harapan paman beliau itu dengan kata-kata yang indah dan penuh kasih sayang, “ Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan.”

Ternyata ‘Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ‘Ali bin Abi Thalib yang merasa kurang puas dengan keputusan Rasulullah. 

Kemudian ia berkata kepada ‘Abbas, “ Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat baitul maal.”

Sekali lagi ‘Abbas menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta seperti yang dianjurkan ‘Ali bin Abi Thalib itu, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “ Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi kotoran orang mukmin.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dekat dan sangat mengasihi pamannya tersebut. beliau tidak mau mengangkat pamannya menjadi pejabat pemerintahan ataupun pengurus zakat, bahkan ia tidak diberi kesempatan dan harapan mengurusi persoalan yang bersifat duniawi, tetapi menekankan kepada pamannya supaya lebih menekuni perkara-perkara agama ini.

Untuk yang ketiga kalinya, ‘Abbas menghadap dan berharap dengan penuh kerendahan hati, “ Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku sudah hamper tiba. Ajarilah aku sesuatu yang berguna bagiku di sisi Allah.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “ Wahai ‘Abbas, engkau adalah pamanku dank aku tidak berdaya sedikitpun dalam masalah yang berkenaan dengan hak Allah, tetapi mohonlah selalu kepada Allah ampunan dan kesehatan.”

Sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan risalah Allah dengan baik, menyampaikan agama-Nya yang lengkap kepada para pewarisnya, maka ia kembali kepada Allah dengan tenang. Ternyata ‘Abbas adalah orang yang paling merasa kesepian atas kepergian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Abbas hidup terhormat di bawah pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan ‘Umar bin Khaththab. 

Ada sebuah kejadian ketika khalifah hendak pergi ke masjid, ia selalu melewati kediaman ‘Abbas. Dan di atas rumahnya itu terdapat sebuah pancuran air. Pada suatu hari ketika khalifah ‘Umar pergi ke masjid dengan pakaian rapi hendak menghadiri shalat berjama’ah, tiba-tiba pencuran air itu menumpahkan airnya dan membasahi pakaian ‘Umar. Ia kembali pulang dan mengganti pakaian kemudian memerintahkan mencabut pencuran tersebut. Sesudah beliau shalat, datanglah ‘Abbas seraya berkata, “ Demi Allah, pancuran air itu diletakkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Khalifah ‘Umar menjawab, “ Aku mohon kepadamu supaya kamu memasang kembali pancuran itu di tempat yang semestinya dengan menaiki pundakku.”

‘Abbas menerima baik harapan ‘Umar untuk memperbaiki kesalahannya itu. ‘Abbas tidak marah, tetapi ia hanya mengingatkan ‘Umar bahwa yang meletakkan pancuran tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hati ‘Umar yang terkenal keras dan kuat tiba-tiab bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan untuk mencabut apa yang dipasang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia rela menebus kesalahannya dengan menyuruh ‘Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan penghargaan kepada paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Masjid Nabawi makin hari makin padat karena jumlah kaum muslimin dari hari ke hari makin bertambah dengan pesatnya . Khalifah ‘Umar berencana untuk memperluas wilayah masjid Nabawi dengan membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid. Semua bangunan yang ada di sekitar masjid sudah dibeli kecuali rumah ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib. Apakah mungkin ia menyumbangkan hasil penjualan rumahnya ke Baitul Maal ataukah ia akan menerima uang ganti ruginya?

Khalifah ‘Umar datang menemuinya seraya berkata, “ Ya Abu Fadhl, engkau lihat, masjid sudah kian sempit karena banyaknya orang yang shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada disekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, dan yang tersisa hanya rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul-Muslimin. Kalau kamar-kamar Ummahatul-Muslimin rasanya tidak mungkin kami membeli dan membongkarnya, tapi rumahmu juallah kepada kami berapa pun yang engkai kehendaki dari Baitul Maal agar kamu bisa meluaskan bangunan masjid.

‘Abbas menjawab, “ Aku tidak mau.”

‘Umar berkata, “ Aku memberimu tiga pilihan, anda menjual berapa pun yang anda kehendaki dari Baitul Maal, atau aku akan menggantinya dengan bangunan lain yang akan aku bangunkan untukmu dari harta Baitul Maal di daerah manapun di Madinah yang kamu kehendaki. Atau kamu berikta sebagai sedekah kepada kaum muslimin untuk meluaskan masjid mereka.”

‘Abbas menjawab, “ Aku tidak mau terima semua itu.”

‘Umar berkata, “ Angkatlah seorang penengah di antara kita jika kamu mau.”

‘Abbas menjawab, “ Aku setuju mengangkat Ubay bin Ka’ab.”
Keduanya kemudian pergi menemui Ubay bin Ka’ab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan meminta pendapatnya.

Ubay berkata, “ Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ Allah ta’alaa pernah mewahyukan kepada Nabi Daud, ‘ Bangunlah untuk-Ku sebuah rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.’ Nabi Dawud lalu merencanakan pembangunannya di Baitul Maqdis. Dalam perencanaan itu, lokasi pembangunan mengenai rumah seorang Bani Israil. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tapi ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud untuk mengambilnya secara paksa. Allah lalu mewahyukan kepadanya,
‘Hai Daud, Aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku, sedangkan pemaksaan bukanlah watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnya!
’”

Khalifah ‘Umar tidak bisa lagi menahan amarahnya, lalu ia menyambar baju Ubay bin Ka’ab dan menggiringnya ke masjid seraya berkata, “ Aku mengharapkan dukunganmu, malah kau menyudutkan aku. Kau harus membuktikan keteranganmu di hadapan kaum Muslimin.”
Ia membawanya ke tengah-tengan halaqah yang diselenggarakan oleh shahabat Rasulullah di masjid Nabawi, dimana di antara mereka terdapat Abu Dzar radliyallahu ‘anhu. ‘Umar berkata, “ Saya mengharap dengan nama Allah, adakah di antara kalian yang mendengarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang Baitul Maqdis, ketika Allah memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan masjid tempat orang-orang menyebut nama-Nya?”

Abu Dzar menjawab, “ Ya, saya mendengarnya!”disambut oleh yang lain, “ Ya, saya juga mendengar hadits tersebut.”

Khalifah ‘Umar lalu berkata kepada ‘Abbas radliyallahu ‘anhu, “ Pergilah! Aku tidak akan menuntutmu membongkar rumahmu.”

‘Abbas menjawab, “ Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan untuk kepentingan kaum Muslimin. Silahkan perluas masjid mereka. Akan tetapi, kalau kau akan mengambilnya secara paksa, aku tidak akan mengalah.”

Memang Khalifah ‘Umar bertindak dengan setengah memaksa, karena proyek ini menyangkut kepentingan kaum Muslimin. Dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi, apabila ada nash yang jelas maka tidak berlaku ijtihad. Ia harus tunduk dan menerima baik syariat Allah dan Rasul-Nya. Sesudah ‘Abbas melihat ketundukan Khalifah ‘Umar pada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau merampas haknya yang dijamin oleh undang-undang dan dilindungi Islam. Tetapi ia benar-benar berjuang demi kesejahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk menyerahkan rumahnya sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid kaum muslimin.

Demikian pribadi hasil didikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan didikan al-Qur’an. Mereka adalah umat muslimin yang pertama, mereka membawa panji Islam ke seluruh penjuru bumi. Membangkitkan peradaban umat manusia, mengajar, mendidik manusia untuk maju serta mengenali peradaban didasari dengan kebenaran.

Pada suatu masa dalam pemerintahan Khalifah ‘Umar, terjadilah kemarau panjang. Orang-orang berdatangan kepada khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang menimpa mereka. ‘Umar menganjurkan kepada kaum Muslimin yang mampu agar mengulurkan bantuan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat. 

Ka’ab masuk menemui ‘Umar seraya berkata, “ Wahai Amiirul-Mukminin, biasanya Bani Israil jika menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan kepada Allah dengan keluarga dari Nabi mereka.”

‘Umar berkata, “ Ini dia paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani Hasyim.”

Khalifah ‘Umar kemudian pergi menemui ‘Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang. 

Kemudian, ia naik mimbar bersama dengan ‘Abbas seraya berdoa,
“ Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman Nabi kamu dan saudara kandung ayahnya. Maka turunkanlah hujan-Mu dan jangan biarkan kami putus asa.”

‘Abbas kemudian meneruskan, dan memulai doanya dengan memuji Allah, “ Ya Allah, Engkaulah yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua tanaman.

Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa kami, dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atar nama makhluk-Mu yang tidak berbicara, atas nama hewan ternak kami. Ya Allah, hujanilah kami dengan hujan keselamatan yang mendatangkan manfaat. Ya Allah, kami mengadukan semua bencana orang yang menderita kelaparan, telanjang, ketakutan, dan semua orang yang menderita kelemahan. Ya Allah selamatkan mereka dengan hujan-Mu sebelum mereka berputus asa dan binasa. Sesungguhnya, tidak aka nada orang yang berputus asa dari rahmat-Mu kecuali orang yang kafir.”
Dan doa tersebut langsung dikabulkan Allah. Hujan lebat turun dan tanaman tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah dan mengucapkan selamat kepada ‘Abbas, “ Selamat kepadamu, wahai Saaqil-Haramain, yang mengurusi minuman rorang di Makkah dan Madinah.”

‘Abbas hidup terhormat, baik oleh kaum muslimin maupun oleh para Khulafaur-Rasyidin. Jika ia berjalan dan berpapasan dengan ‘Umar atau ‘Utsman yang sedang berkendara, keduanya turun dari kendaraannya seraya berkata, “ Paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Sudah menjadi sunnatullah, setiap permulaan ada akhirnya, setiap perjalanan ada ujungnya, demikian pula dengan ‘Abbas radliyallahu ‘anhu, perjalanan hidupnya terhenti dan kembali kepada Allah menyusul keponakannya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rekan-rekannya yang lain, pada hari Jum’at, tanggal 12 Rajab 32 Hijriah. Dalam usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi’, Madinah. Rahimahullah wa radliyallahu ‘anhu.

Diadaptasi dari 101 Sahabat Nabi, Peny. Hepi Andi Bastoni, Pustaka al-Kautsar, hlm. 5-14

Sumber: http://www.alislamu.com/8572/abbas-bin-abdul-muthallib-penasehat-kaum-muslimin/

0 komentar:

Posting Komentar