Ia adalah paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah
seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena
itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, “ ‘Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti ‘Abbas sama dengan menyakitiku.”
Di zaman jahiliyyah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan
melayani minuman para jamaah haji. Ia dekat dengan Rasulullah,
Rasulullah pun dekat sekali dengannya. Ia pernah menjadi pembantu dan
penasehat utamanya dalam bai’at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari
Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan
pasukan gajah yang hendak menghancurkan Ka’bah di Makkah. Ibunya,
Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama
yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.
Pada waktu ‘Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Sang ibu lalu
bernazar, jika putranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra
pada Baitullah. Tak lama kemudian, ‘Abbas ditemukan, maka ia pun
menepati nadzarnya itu.
Istrinya dikenal dengan panggilan Ummu Fadhl. Karena anak sulungnya
bernama al-Fadhl. Wajahnya tampan, ia duduk di belakang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji Wada’. Ia
meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang
lain sebagi berikut, ‘Abdullah, anak kedua ‘Abbas seorang ahli agama
yang mendapat doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya sangat mirip dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan
meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma’bad, syahid di Afrika.
‘Abdullah yang kedua, orangnya baik, kaya, dan murah hati, beliau
meninggal dunia di Madinah. Kelima, puteri ‘Abbas yang bernama Ummu
Habibah, tidak banyak keterangan dalam sejarah.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang keislaman ‘Abbas bin Abdul
Muthallib. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukan Khaibar. Ada yang
mengatakan lama sebelum Perang Badr. Suatu riwayat menyebutkan bahwa, ia
memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi yang berada di Madinah
dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari
beliau. Sedangkan riwayat lain menyebutkan bahwa, ia pernah menyatakan
keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan, “ Kau lebih baik tinggal di Mekah.”
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi’, pembantu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ Pada waktu itu, ketika aku
masih kanak-kanak, aku menjadi pembantu di rumah ‘Abbas bin Abdul
Muthallib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah
tangganya. Baik ‘Abbas maupun Ummu Fadhl, kedua-duanya sudah masuk
Islam. Akan tetapi, ‘Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah,
lalu ia menyembunyikan keislamannya.”
Ia balik bertanya, ‘ Apakah kalian berdua mengenalnya?’
Kami menjawab, ‘ Tidak!’
Ia lalu bertanya, ‘ Kalian mengenal ‘Abbas bin Abdul Muthallib, pamannya?’
Kami menjawab, ‘ Ya!’ memang kami sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan.
Orang tadi lalu berkata, ‘ Kalau kalian masuk ke Masjidil Haram,
orang yang duduk di sebelah ‘Abbas itulah orang yang kalian cari.’
Kemudian, kami masuk ke Masjidil Haram. Ternyata, kami menemukan ‘Abbas
duduk di sana dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di
sebelahnya.”
‘Abbas radliyallahu ‘anhu mempunyai peran penting yang tidak bisa
diabaikan dalam peristiwa baiat al-Aqabah. Ia orang pertama yang
berpidato dalam majelis itu.
‘Abbas berkata, “ Wahai kaum Khazraj, (pada masa itu suku al-Aus dan
al-Khazraj dipanggil dengan al-Khazraj saja) kalian seperti yang saya
ketahui telah mengundang datang Muhammad. Ketahuilah bahwa Muhammad
adalah orang yang paling mulia di tengah-tengah keluarganya. Ia dibela
oleh orang-orang yang sepaham dan orang-orang yang tidak sepaham dengan
pikirannya, demi memelihara nama baik keluarga. Muhammad sudah menolak
tawaran orang lain selain kalian. Kalau kalian memiliki kekuatan,
ketabahan, dan pengetahuan tentang ilmu peperangan, serta mempunyai
kekuatan menghadapi persekutuan dan permusuhan seluruh bangsa Arab,
karena mereka akan menyerang kalian dengan satu busur dan satu anak
panah, maka camkanlah baik-baik terlebih dahulu, musyawarahkanlah antara
kalian dengan mufakat dan kebulatan tekad dalam majelis ini karena
sebaik-baik bicara adalah perkataan yang jujur.”
Kata-kata itu menunjukkan pengetahuannya yang luas dan pemikirannya
yang cerdas tentang berbagai persoalan. Ia ingin mengenali hakikat kaum
Anshar dan membangkitkan kesiapsiagaan mereka.
Lalu ia berkata, “ Cobalah kalian ceritakan kepadaku bagaimana kalian berperang menghadapi musuh?”
‘Abdullah bin ‘Amru bin Haram bangkit memberikan jawaban, “
Percayalah bahwa kami adalah ahli perang, kami memperoleh keahlian itu
berkat kebiasaan dan latihan kami dan berkat warisan nenek moyang kami.
Kami lepaskan anak panah sampai habis, lalu kami mainkan tombak sampai
patah, kemudian kami menyerang dengan pedang, berperang tanding hingga
tewas atau menewaskan musuh kami.”
Cerahlah wajah ‘Abbas mendengarkan keterangan mereka itu dan amanlah
rasanya untuk menyerahkan keponakan yang ia cintai, seseornag yang
paling dekat di hatinya. Seperti ada yang ia lupakan.
‘Abbas kemudian berkata, “ Kalian mengatakan bahwa kalian adalah kaum
yang ahli dalam berperang, apakah kalian memiliki baju besi?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membaiat mereka
dan ‘Abbas mengambil tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk mengukuhkan baiat itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Yatsrib
sedangkan ‘Abbas tetap tinggal di Mekkah, mendengar berita Rasulullah
dari kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita tentang kaum Quraisy,
hingga berkecamuknya perang Badr.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu bahwa ‘Abbas dan
keluarganya dipaksa keluar berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak
berdaya untuk menolaknya.
Rasulullah bersabda, “ Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim
dan yang lainnya, mereka terpaksa keluar. Mereka tidak mempunyai
kepentingan untuk memerangi kita. Siapa di antara kalian yang menjumpai
mereka, janganlah dibunuh. Siapa yang menjumpai ‘Abbas bin ‘Abdul
Muthallib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah di bunuh
karena ia terpaksa keluar untuk berperang. ”
Keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tersebar luas
di kalangan orang yang pergi ke Badr. Kaum mukminin menerima baik
perintah itu, kecuali Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, yang berkata
dengan lantang, “ Kami akan membunuh bapak kami, anak-anak kami,
saudara-saudara dan keluarga kami. Lalu apakah kami akan membiarkan
‘Abbas? Demi Allah, kalau saya menjumpainya, saya akan memancungnya
dengan pedangku ini.”
Kata-kata itu terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepada ‘Umar bn Khaththab, “ Wahai Abu Hafsah, ada juga yang mau membunuh paman Rasulullah dengan pedangnya!”
‘Umar lantas berkata, “ Biarkanlah saya penggal leher Abu Hudzaifah
dengan pedangku ini ya Rasulullah. Demi Allah, dia itu seorang munafik.”
Akan tetapi Rasulullah melarang ‘Umar membunuh kawannya yang
bersalah. Beliau membiarkan mereka bertobat dan menebus dosa-dosanya.
Ternyata Abu Hudzaifah sangat menyesali kata-katanya itu dan senantiasa
mengulang-ulang perkataannya, “ Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman
atas kata-kata yang pernah aku ucapkan dahulu dan aku senantiasa
dikejar-kejar rasa takut olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan
kepadaku dengan syahadah!” ternyata, harapannya itu dipenuhi Allah
ta’alaa’, ia meninggal dunia sebagai syahid dalam perang Yamamah.
Pada suatu hari, ‘Abbas pergi berhijrah ke Madinah bersama dengan
Naufal bin Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun hijrahnya
namun mereka sependapat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberikan sebidang tanah kepadanya yang berdekatan dengan tempat
kediaman beliau.
Di Madinah terjadi pertengkaran antara seseorang dengan ‘Abbas yang
berakar sejak zaman jahiliyyah, di mana orang itu memaki-maki ayah
‘Abbas. Gangguan orang itu terhadap ‘Abbas dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menyakiti hatinya, maka ia menampar laki-laki
tersebut. Kabilah orang itu tidak terima dan bersiap-siap akan menuntut
balas. Mereka berkata, “ Demi Allah, kami akan menamparnya sebagaimana
ia menampar saudara kami!”
Ancaman mereka itu terdengar oleh Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau mengumpulkan kaum muslimin dan naik ke atas mimbar,
seraya memanjatkan pujian kepada Allah dan bersabda, “ Wahai kaum muslimin, tahukah kalian, siapa orang yang paling mulia di sisi Allah ta’alaa?”
“ Tahukah kalian bahwa ‘Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, jangan sampai menyakiti mereka yang masih hidup.”
Kabilah orang tersebut datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “
Ya Rasulullah, kami mohon perlindungan Allah dari kegusaranmu maafkanlah
kesalahan kami, ya Rasulullah.” Pernyataan Rasulullah tersebut menguatkan keterangan Abu Majas radliyallahu ‘anhu, tentang sabda beliau, “ ‘Abbas adalah saudara kandung ayahku, Barangsiapa yang menyakitinya, sama dengan menyakitiku.”
Pada suatu hari, ‘Abbas datang menghadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan memohon dengan penuh harap, “ Ya Rasulullah,
apakah anda tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?”
Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang cerdik, berpengetahuan luas,
dan mengetahui lika-liku jiwa seseorang, namun Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala
pemerintahan, beliau tidak ingin pamannya dibebani tugas pemerintahan.
Kemudian beliau menjawab harapan paman beliau itu dengan kata-kata yang
indah dan penuh kasih sayang, “ Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan.”
Ternyata ‘Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ‘Ali bin Abi Thalib yang merasa
kurang puas dengan keputusan Rasulullah.
Kemudian ia berkata kepada ‘Abbas, “ Kalau kau ditolak menjadi
pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat baitul maal.”
Sekali lagi ‘Abbas menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk meminta seperti yang dianjurkan ‘Ali bin Abi Thalib itu, lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “ Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi kotoran orang mukmin.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling
dekat dan sangat mengasihi pamannya tersebut. beliau tidak mau
mengangkat pamannya menjadi pejabat pemerintahan ataupun pengurus zakat,
bahkan ia tidak diberi kesempatan dan harapan mengurusi persoalan yang
bersifat duniawi, tetapi menekankan kepada pamannya supaya lebih
menekuni perkara-perkara agama ini.
Untuk yang ketiga kalinya, ‘Abbas menghadap dan berharap dengan penuh
kerendahan hati, “ Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku
sudah hamper tiba. Ajarilah aku sesuatu yang berguna bagiku di sisi
Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “ Wahai
‘Abbas, engkau adalah pamanku dank aku tidak berdaya sedikitpun dalam
masalah yang berkenaan dengan hak Allah, tetapi mohonlah selalu kepada
Allah ampunan dan kesehatan.”
Sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan risalah
Allah dengan baik, menyampaikan agama-Nya yang lengkap kepada para
pewarisnya, maka ia kembali kepada Allah dengan tenang. Ternyata ‘Abbas
adalah orang yang paling merasa kesepian atas kepergian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‘Abbas hidup terhormat di bawah pemerintahan Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan ‘Umar bin Khaththab.
Ada sebuah kejadian ketika khalifah hendak pergi ke masjid, ia selalu
melewati kediaman ‘Abbas. Dan di atas rumahnya itu terdapat sebuah
pancuran air. Pada suatu hari ketika khalifah ‘Umar pergi ke masjid
dengan pakaian rapi hendak menghadiri shalat berjama’ah, tiba-tiba
pencuran air itu menumpahkan airnya dan membasahi pakaian ‘Umar. Ia
kembali pulang dan mengganti pakaian kemudian memerintahkan mencabut
pencuran tersebut. Sesudah beliau shalat, datanglah ‘Abbas seraya
berkata, “ Demi Allah, pancuran air itu diletakkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Khalifah ‘Umar menjawab, “ Aku mohon kepadamu supaya kamu memasang
kembali pancuran itu di tempat yang semestinya dengan menaiki pundakku.”
‘Abbas menerima baik harapan ‘Umar untuk memperbaiki kesalahannya
itu. ‘Abbas tidak marah, tetapi ia hanya mengingatkan ‘Umar bahwa yang
meletakkan pancuran tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hati ‘Umar yang terkenal keras dan kuat tiba-tiab bergetar
ketakutan, bagaimana ia memerintahkan untuk mencabut apa yang dipasang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia rela menebus kesalahannya
dengan menyuruh ‘Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran
air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan penghargaan
kepada paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masjid Nabawi makin hari makin padat karena jumlah kaum muslimin dari
hari ke hari makin bertambah dengan pesatnya . Khalifah ‘Umar berencana
untuk memperluas wilayah masjid Nabawi dengan membeli rumah-rumah yang
ada di sekitar masjid. Semua bangunan yang ada di sekitar masjid sudah
dibeli kecuali rumah ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib. Apakah mungkin ia
menyumbangkan hasil penjualan rumahnya ke Baitul Maal ataukah ia akan
menerima uang ganti ruginya?
Khalifah ‘Umar datang menemuinya seraya berkata, “ Ya Abu Fadhl,
engkau lihat, masjid sudah kian sempit karena banyaknya orang yang
shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan
bangunan yang ada disekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, dan
yang tersisa hanya rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul-Muslimin. Kalau
kamar-kamar Ummahatul-Muslimin rasanya tidak mungkin kami membeli dan
membongkarnya, tapi rumahmu juallah kepada kami berapa pun yang engkai
kehendaki dari Baitul Maal agar kamu bisa meluaskan bangunan masjid.
‘Umar berkata, “ Aku memberimu tiga pilihan, anda menjual berapa pun
yang anda kehendaki dari Baitul Maal, atau aku akan menggantinya dengan
bangunan lain yang akan aku bangunkan untukmu dari harta Baitul Maal di
daerah manapun di Madinah yang kamu kehendaki. Atau kamu berikta sebagai
sedekah kepada kaum muslimin untuk meluaskan masjid mereka.”
‘Umar berkata, “ Angkatlah seorang penengah di antara kita jika kamu mau.”
‘Abbas menjawab, “ Aku setuju mengangkat Ubay bin Ka’ab.”
Keduanya kemudian pergi menemui Ubay bin Ka’ab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan meminta pendapatnya.
Ubay berkata, “ Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘ Allah ta’alaa pernah mewahyukan kepada Nabi Daud, ‘
Bangunlah untuk-Ku sebuah rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di
sana.’ Nabi Dawud lalu merencanakan pembangunannya di Baitul Maqdis.
Dalam perencanaan itu, lokasi pembangunan mengenai rumah seorang Bani
Israil. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya,
tapi ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud untuk
mengambilnya secara paksa. Allah lalu mewahyukan kepadanya,
‘Hai Daud, Aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku, sedangkan pemaksaan bukanlah watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnya!’”
‘Hai Daud, Aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku, sedangkan pemaksaan bukanlah watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnya!’”
Ia membawanya ke tengah-tengan halaqah yang diselenggarakan oleh shahabat Rasulullah di masjid Nabawi, dimana di antara mereka terdapat Abu Dzar radliyallahu ‘anhu. ‘Umar berkata, “ Saya mengharap dengan nama Allah, adakah di antara kalian yang mendengarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang Baitul Maqdis, ketika Allah memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan masjid tempat orang-orang menyebut nama-Nya?”
Abu Dzar menjawab, “ Ya, saya mendengarnya!”disambut oleh yang lain, “ Ya, saya juga mendengar hadits tersebut.”
Khalifah ‘Umar lalu berkata kepada ‘Abbas radliyallahu ‘anhu, “ Pergilah! Aku tidak akan menuntutmu membongkar rumahmu.”
‘Abbas menjawab, “ Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan untuk kepentingan kaum Muslimin. Silahkan perluas masjid mereka. Akan tetapi, kalau kau akan mengambilnya secara paksa, aku tidak akan mengalah.”
Memang Khalifah ‘Umar bertindak dengan setengah memaksa, karena
proyek ini menyangkut kepentingan kaum Muslimin. Dan dianggap tidak
bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi, apabila ada nash yang
jelas maka tidak berlaku ijtihad. Ia harus tunduk dan menerima baik
syariat Allah dan Rasul-Nya. Sesudah ‘Abbas melihat ketundukan Khalifah
‘Umar pada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan
kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau merampas haknya yang
dijamin oleh undang-undang dan dilindungi Islam. Tetapi ia benar-benar
berjuang demi kesejahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk
menyerahkan rumahnya sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid
kaum muslimin.
Demikian pribadi hasil didikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan didikan al-Qur’an. Mereka adalah umat muslimin yang pertama,
mereka membawa panji Islam ke seluruh penjuru bumi. Membangkitkan
peradaban umat manusia, mengajar, mendidik manusia untuk maju serta
mengenali peradaban didasari dengan kebenaran.
Pada suatu masa dalam pemerintahan Khalifah ‘Umar, terjadilah kemarau
panjang. Orang-orang berdatangan kepada khalifah untuk mengadukan
kesulitan dan kelaparan yang menimpa mereka. ‘Umar menganjurkan kepada
kaum Muslimin yang mampu agar mengulurkan bantuan tangan membantu
saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan. Kepada para
penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya
ke pusat.
Ka’ab masuk menemui ‘Umar seraya berkata, “ Wahai Amiirul-Mukminin,
biasanya Bani Israil jika menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta
hujan kepada Allah dengan keluarga dari Nabi mereka.”
‘Umar berkata, “ Ini dia paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani Hasyim.”
Khalifah ‘Umar kemudian pergi menemui ‘Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang.
Kemudian, ia naik mimbar bersama dengan ‘Abbas seraya berdoa,
“ Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman Nabi kamu dan saudara kandung ayahnya. Maka turunkanlah hujan-Mu dan jangan biarkan kami putus asa.”
“ Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman Nabi kamu dan saudara kandung ayahnya. Maka turunkanlah hujan-Mu dan jangan biarkan kami putus asa.”
‘Abbas kemudian meneruskan, dan memulai doanya dengan memuji Allah, “
Ya Allah, Engkaulah yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan
turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan
suburkanlah semua tanaman.
Dan doa tersebut langsung dikabulkan Allah. Hujan lebat turun dan tanaman tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah dan mengucapkan selamat kepada ‘Abbas, “ Selamat kepadamu, wahai Saaqil-Haramain, yang mengurusi minuman rorang di Makkah dan Madinah.”
‘Abbas hidup terhormat, baik oleh kaum muslimin maupun oleh para
Khulafaur-Rasyidin. Jika ia berjalan dan berpapasan dengan ‘Umar atau
‘Utsman yang sedang berkendara, keduanya turun dari kendaraannya seraya
berkata, “ Paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Sudah menjadi sunnatullah, setiap permulaan ada akhirnya, setiap
perjalanan ada ujungnya, demikian pula dengan ‘Abbas radliyallahu ‘anhu,
perjalanan hidupnya terhenti dan kembali kepada Allah menyusul
keponakannya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
rekan-rekannya yang lain, pada hari Jum’at, tanggal 12 Rajab 32 Hijriah.
Dalam usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi’, Madinah. Rahimahullah
wa radliyallahu ‘anhu.
Sumber: http://www.alislamu.com/8572/abbas-bin-abdul-muthallib-penasehat-kaum-muslimin/
0 komentar:
Posting Komentar