Jumat, 23 Januari 2015

Oleh: Muhammad bin Shalih al-Ghurasi

Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba, maka Dia akan membuat hamba-Nya mengetahui aibnya sendiri. Barang siapa memiliki hati yang jernih, maka dia tidak akan takut terhadap aibnya sendiri. Bila ia mengetahui aib dirinya sendiri maka ia akan bisa mengobatinya. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui aibnya sendiri. Seperti kata pepatah, Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat. Merugilah orang yang seperti ini. Sibuk mencari kesalahan orang lain. Dan beruntunglah orang yang mengetahui aibnya sendiri. Dan berusaha menjadi lebih baik.

Berikut ini ada beberapa tips agar kita dapat mengetahui aib diri sendiri.

Pertama
Bergaul dengan para ulama, belajar dan mengambil hikmah dari ilmu serta pengalaman hidup mereka, menjadikannya bahan muhasabah bagi diri kita, sehingga dapat mengetahui aib diri sendiri dan mengobatinya.

Namun pada zaman sekarang, tindakan seperti ini sangat langka. Oleh sebab itu, siapa yang melakukannya, sungguh ia telah menemukan seorang dokter ahli yang tidak selayaknya ia tinggalkan.

Kedua
Mencari teman dekat yang memiliki pemahaman agama serta akhlak yang baik. Tidak hanya menjadi teman, ia sekaligus menjadi pengawas bagi diri kita, tempat berbagi suka, penghibur dikala duka dan pengingat saat lalai tiba.

Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ مِرَآةُ أَخِيْهِ، إِذَا رَأَى فِيْهِ عَيْباً أَصْلَحَهُ

“ Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Jika dia melihat suatu aib pada diri saudaranya, maka dia memperbaikinya.” (Hasan secara sanad)

Amirul-Mukminin ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu berkata, “ Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aib-aib kami.”
Ia pernah bertanya kepada Salman perihal aib yang pernah dilakukannya. Salman radliyallahu ‘anhu menjawab, “ Aku mendengar engkau pernah mengumpulkan dua jenis lauk di atas meja dan engkau mengenakan dua jenis pakaian, yang satu untuk malam hari dan satunya lagi untuk siang hari.”
‘Umar bertanya, “ Apakah engkau mendapati selain itu?”
“ Tidak.” Jawab Salman.
Kemudian ‘Umar berkata, “ Dua perkara ini sudah tidak kulakukan.”
‘Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah radliyallahu ‘anhu, “ Apakah aku termasuk orang munafik?” ‘Umar menanyakan hal ini, karena setiap orang yang semakin tinggi kedudukannya, maka tuduhan terhadap dirinya juga semakin banyak. Hanya saja, pada zaman sekarang, sangat jarang seorang teman yang memiliki sifat seperti ini. Sebab, kebanyakan teman pada saat ini adalah penjilat, sehingga ia mudah mengobral aib temannya. Selain itu juga pendengki.
Mereka generasi salaf, sangat suka kepada orang yang mengingatkan aib mereka. Sedangkan kita sekarang, cenderung marah dan bermuka masam terhadap orang yang memberitahukan aib kita.
Ini adalah bukti lemahnya iman dan buruknya akhlak kita. Padahal, akhlak yang buruk ibarat seekor kalajengking. Bayangkan bila ada orang yang memberitahu bahwa di balik baju kita ada kalajengking. Maka seketika itu juga, kita akan mengucapkan terima kasih kepadanya dan bergegas membunuh kalajengking itu. Begitulah seharusnya kita bersikap terhadap orang yang telah mengingatkan keburukan kita, berterima kasih kepadanya dan segera membuang jauh-jauh sifat buruk tersebut. Karena pada hakikatnya, sifat buruk lebih berbahaya dari seekor kalajengking.
Ketiga
Mengambil pelajaran dari aib kita yang disampaikan oleh orang-orang yang membenci kita. Karena mereka yang membenci, terkadang lebih perhatian terhadap pihak yang mereka benci, Dapat mengetahui kekurangan atau kesalahan sampai detail terkecil sekalipun. Manfaat dari orang yang membenci dan selalu memperhatikan aib kita, lebih banyak ketimbang manfaat yang kita dapat dari teman yang suka menjilat yang menyembunyikan aib kita. karena dari mereka yang membenci kita, dapat dijadikan bahan muhasabah serta menjadi motivasi, untuk memperindah diri dengan akhlak yang mulia.
Keempat
Senantiasa bergaul dengan masyarakat. Dengan begitu, kita dapat mengetahui, mana yang patut dicontoh, dan mana yang sebaiknya ditinggalkan.
Wallahu a’lam
Sumber: Diadaptasi dari Muhammad Shalih al-ghurasi, Tahdzib Mukhtashar Minhajul-Qashiddin, atau Intisari Minhajul-Qashidin, Daarul-Kitaab was-Sunnah, Riyadh, 2011, hlm. 102-103.

0 komentar:

Posting Komentar