Oleh: DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar
Pengantar
Ini adalah salah satu kisah Bani Israil yang disampaikan oleh seorang yang masuk Islam di kalangan mereka. Kisah ini tentang seorang ulama Bani Israil yang isterinya meninggal dunia. Dia memutuskan menyendiri karena kesedihannya yang sangat mendalam. Lalu ada seorang wanita yang nekad menemuinya. Wanita ini membuat perumpamaan yang menggambarkan keadaannya tanpa dia sadari. Maka ulama ini bisa mengambil manfaat dari perumpamaan yang dibuat wanita tersebut. Dia membuang kesedihannya dan kembali bergaul dengan orang-orang.
Teks Hadits
Malik di dalam Muwattha’ meriwayatkan dari Yahya bin Said dan Al-Qasim bin Muhammad bahwa dia berkata, “Istriku wafat, maka Muhammad bin Kaab Al-qurazhi mendatangi untuk bertakziyah. Muhammad berkata, “Di kalangan Bani Israil terdapat seorang faqih, alim, ahli ibadah dan ahli berijtihad. Dia beristri. Dia mengagumi dan mencintai isterinya. Ketika istrinya wafat, dia sangat bersedih dan sangat menyesalinya, hingga dia menyendiri di rumah, menutup diri, dan menghindari orang-orang. Tidak ada seorang pun yang menemuinya.
Ada seorang wanita yang mendengarnya. Dia mendatanginya dan berkata, ‘Aku ada perlu dengannya. Aku ingin meminta fatwa, tidak bisa diwakilkan.’ Orang-orang pergi dan wanita ini menunggu di pintu. Wanita ini berkata, ‘Aku harus bertemu dengannya.’
Seseorang menyampaikan kepada laki-laki alim itu, ‘Ada seorang wanita di pintu yang ingin meminta fatwamu. Wanita itu berkata bahwa ia hanya ingin berbicara denganmu.’ Orang-orang telah bubar sementara dia tetap di pintu. Si Alim itu pun berkata, ‘Suruh dia masuk.’ Wanita itu masuk dan berkata, ‘Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara.’ Si Alim itu bertanya, ‘Apa itu?’
Wanita ini berkata, ‘Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakainya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku untuk mengembalikannya. Apakah aku harus mengembalikankannya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Ya, demi Allah.’ Wanita itu berkata, ‘Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu.’ Laki-laki itu menjawab, ‘Hal itu lebih wajib atasmu untuk mengembalikankannya pada mereka ketika mereka meminjamkannya beberapa waktu.’ Wanita itu berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu. Apakah kamu menyesali apa yang yang Allah pinjamkan kepadamu kemudian Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu?’ Laki-laki alim ini tersadar dari kekeliruannya dan ucapan wanita ini sangat berguna baginya.”
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Malik dalam Muwattha’-nya, Jami’ul Ushul, Bab berharap pahala dari musibah, hlm. 163 no. 43.
Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengomentari hadis ini dalam Jami’ul Ushul ( 6/339), “Sanad kepada Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi adalah shahih.”
Penjelasan Hadis
Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi mengunjungi Al-Qasim bin Muhammad untuk menghiburnya setelah isterinya wafat. Maka Muhammad menceritakan kisah seorang laki-laki ahli ibadah dan agama dari Bani Israil yang ditinggalkan wafat oleh isterinya, isteri yang sangat dikagumi dan dicintainya. Laki-laki itu sangat bersedih. Saking sedihnya, dia pun menyendiri, mengucilkan diri dari orang-orang, dan tidak mau ditemui oleh siapa pun.
Datanglah seorang wanita yang hendak menemuinya untuk meminta fatwanya. Wanita ini menunggu di pintunya. Dia menolak mengatakan masalahnya. Dia ngotot harus berbicara langsung. Ketika dia bertemu, dia bertanya tentang suatu kaum yang meminjaminya perhiasan yang banyak dan baik. Dia memakainya dan meminjamkannya. Kemudian pemiliknya memintanya, maka apakah dia wajib mengembalikannya?
Laki-laki ini terkejut dengan pertanyaan yang jawabannya sangat mudah. Dia menjawab, “Harus dikembalikan.”
Padahal wanita ini hanyalah membuat perumpamaan perhiasan yang dipinjam, dengan isterinya. Isteri berada di sisinya sebagai pinjaman dan semua yang ada di dunia hanyalah titipan dan pinjaman; harta, keluarga, dan anak-anak. Allah pasti mengambil kembali titipan-Nya. Manakala wanita ini mengarahkan pandangan laki-laki itu kepada persamaan antara keadaannya dengan keadaan perhiasaan pinjaman, maka dia tersadar dan mengoreksi kekeliruannya.
Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis
1. Seorang ulama bisa lalai terhadap apa yang mereka ketahui dan mengerti, sebagaimana alim fiqih ini lalai terhadap kewajiban bersabar pada waktu turunnya musibah yang diketahui oleh semua orang. Dan bahwa apa yang Allah ambil hanyalah apa yang Dia titipkan kepada kita.
2. Orang pandai lagi berakal agar menunjukkan kesalahan dan kelalaian orang lain, seperti yang dilakukan oleh wanita ini terhadap orang alim tersebut.
3. Ilmu dan pemahaman bukan monopoli kaum laki-laki saja. Tetapi dimiliki bersama. Wanita ini telah menyadarkan laki-laki alim.
4. Tidak ada halangan bagi wanita ketika berusaha mengajarkan dan menyebarkan kebaikan kepada manusia, asalkan dia bisa menjaga diri dari mudharat dan terjerumus ke dalam hal yang diharamkan.
5. Pentingnya membuat perumpamaan. Perumpamaan menghilangkan syubhat, melenyapkan kesulitan, meluruskan orang yang melenceng, dan memberi nasihat kepada orang yang sesat.
6. Menghibur orang-orang dengan berita orang-orang terdahulu yang sama dengan keadaan orang yang diberi nasihat.
Sumber: diadaptasi dari DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Shahih Qashashin Nabawi, atau Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa terj. Izzudin Karimi, Lc. (Pustaka Yassir, 2008), hlm. 366 –369
0 komentar:
Posting Komentar